BAGAIMANA STATUS KEWARISAN ANAK ANGKAT DI MATA HUKUM ?

“Dalam hukum kewarisan yang berlaku, hak mewaris timbul karena adanya hubungan darah dan/atau hubungan perkawinan dengan pewaris.”

Pengangkatan anak atau dikenal dengan adopsi merupakan hal yang umum di masyarakat Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu pilihan bagi pasangan suami istri yang telah lama menikah namun belum dikaruniai seorang anak. Hal yang sering kali menjadi pertanyaan yaitu, “Apakah anak angkat berhak untuk memperoleh waris dari orang tua angkatnya?”

Dalam prakteknya terkait hukum keluarga, terdapat 3 sistem hukum yang dapat menjadi pilihan yaitu hukum adat, hukum perdata formil sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan dan hukum Islam. Masing-masing warga negara diberikan kebebasan untuk memilih sistem hukum mana yang akan dipergunakan terkait hukum keluarga tersebut.

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum terhadap hal-hal berkaitan hubungan darah dan perwalian. Menurut hukum Islam, hubungan hukum si anak angkat tetap dengan orang tua kandungnya khususnya dalam hal perwalian ketika menikah dan kewarisan. Sehingga anak angkat tersebut tetap menggunakan nama dari ayah kandungnya dan hanya dapat memperoleh waris dari orang tua kandungnya.

Dalam hukum kewarisan yang berlaku, hak mewaris timbul karena adanya hubungan darah dan/atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata dan Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:

a. Atas dasar adanya hubungan darah, yaitu:

    • Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;
    • Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek

b. Atas dasar adanya hubungan perkawinan seperti duda atau janda.

Sedangkan bagi seorang anak angkat, dikarenakan antara dirinya dengan pewaris (orang tua angkat) tidak memiliki hubungan darah maupun perkawinan maka menurut hukum tidak berhak untuk menerima warisan dari orang tua angkatnya.

Namun walaupun demikian hukum tetap melindungi kedudukan dari anak angkat tersebut, yaitu dengan diperkenankannya menerima bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya melalui lembaga hibah wasiat atau wasiat wajibah.

Hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, dimana Pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu atau semua barang-barang dan macam misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya. Perbedaan dengan hibah pada umumnya, hibah wasiat ini baru berlaku dan dapat dilakukan penyerahannya ketika si pemberi hibah telah meninggal dunia.

Sedangkan wasiat wajibah dapat diberikan jika anak angkat tersebut tidak memperoleh wasiat apapun dari orang tua angkatnya. Adapun besarnya wasiat tersebut yaitu maksimal 1/3 dari total keseluruhan boedel waris si Pewaris. Pembatasan dalam pemberian wasiat tersebut bertujuan agar tidak menghilangkan hak para ahli waris untuk memperoleh bagian atas harta peninggalan pewaris.

Adapun yang dimaksud warisan dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk menerima harta kekayaan namun meliputi menyelesaikan hutang-hutang Pewaris berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban melakukan penagihan piutang, menyelesaikan wasiat dan kewajiban-kewajiban lain dalam hukum kekayaan (hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang). Maka dikarenakan anak angkat tersebut tidak dapat memperoleh warisan, maka menurut hukum terhadapnya tidak dapat dibebankan kewajiban untuk menanggung hutang-hutang milik orang tua angkatnya tersebut.

Lain halnya dalam pengaturan hukum perdata nasional, yaitu ada yang dikenal dengan erfstelling atau pengangkatan ahli waris, penunjukkan terhadap seseorang atau lebih untuk memperoleh seluruh atau sebagian dari harta warisan Pewaris (Pasal 954 KUHPerdata). Dengan adanya penunjukkan tersebut kedudukan ahli waris menurut wasiat tersebut kedudukannya sama dengan ahli waris menurut undang-undang. Sehingga jika seorang anak angkat berdasarkan wasiat orang tuanya diangkat menjadi ahli waris maka ia memperoleh segala hak dan kewajiban Pewaris.

Pengaturan yang berbeda dengan hukum Islam, yaitu tidak adanya batasan maksimal dalam pemberian wasiat. Namun ada yang disebut dengan bagian mutlak yang harus diterima ahli waris (legitieme Portie). Sehingga pemberian wasiat tersebut tidak boleh mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dari yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang sesungguhnya tersebut.

ingin berkonsultasi dengan kami mengenai hukum keluarga, silahkan hubungi :

E: [email protected]
T: +62812 9797 0522

Leave a Comment