MASIH BINGUNG DENGAN ATURAN MASA IDDAH? BACA INI DULU!

Bagi wanita yang telah ditalak, maka harus mengetahui perihal masa iddah. Karena wanita yang ditalak baru bisa menikah lagi setelah ia selesai dari masa iddahnya. Tapi sebelum membahas lebih jauh, mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, apa sih iddah itu?

Iddah (“waktu menunggu”) adalah sebuah masa di mana seorang wanita yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai karena suaminya mati atau karena diceraikan ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri ternyata mengatur beberapa jenis masa iddah tergantung pada kondisi yang menyebabkan terputusnya perkawinan.

Berikut ini adalah rincian masa waktu iddah yang terdapat dalam Pasal 153 KHI:

  1. Apabila suami meninggal dan perempuan tersebut sedang hamil, maka masa iddahnya hingga bayi melahirkan.
  2. Jika suami meninggal dan perempuan tersebut tidak dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
  3. Apabila bercerai, maka dibagi menjadi cerai yang bisa rujuk (talak 1 dan talak 2) serta cerai yang tidak bisa rujuk (talak 3). Inipun dibagi lagi menjadi yang masih haid ataupun sudah tidak haid (menopause), yaitu:

a.Untuk kasus bisa rujuk dan masih haid, masa iddahnya 3 kali haid.

b.Untuk kasus bisa rujuk dan tidak haid, masa iddahnya 3 bulan.

c.Untuk kasus bisa rujuk dan sedang hamil, masa iddahnya sampai melahirkan bayi.

d.Untuk kasus tidak bisa rujuk (talak 3), maka masa iddahnya hanya 1 kali haid (1 bulan).

e.Jika istri yang menggugat cerai, maka masa iddahnya 1 bulan (1 bulan).

Bagi perkawinan yang putusnya karena perceraian maka tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Hikmah Pengaturan ‘Iddah

Pengaturan mengenai waktu tunggu atau iddah adalah untuk beberapa tujuan, di antaranya sebagai berikut :

  1. Memberi kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, bila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
  2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan sehingga menjadi jelas siapa ayah dari bayi tersebut.
  3. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suami dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.

Rahmi Uzier

Ingin konsultasi lebih jauh tentang hukum perkawinan di Indonesia? Silakan menghubungi Kantorpengacara.co di +62 812-9797-0522 atau email ke: [email protected]