Gereja Katolik Melarang Perceraian

Pengambilan Putusan Cerai – Ditemukan dalam berbagai kasus bahwa perceraian menyebabkan ketidakharomisan dan relasi antara kedua pihak. Ada banyak penyebab ketidakharomisan dalam perkawinan katolik sebagaimana rumah tangga pernikahan secara umum. Namun, benarkah katolik melarang perceraian? seperti yang telah diketahui bahwa pasangan yang menikah secara katolik tidak diizinkan untuk bercerai. Apa pun masalahnya.

Masing-masing pihak menyadari ketidakharmonisan bermula dari sikap-sikap penyelewengan. Mereka mengklaim keretakan hubungan ditengarai oleh banyak persoalan, seperti perselingkuhan, ketidakjujuran, ketidakterbukaan, munafik, hilangnya kepercayaan, saling curiga, tidak bisa membahagiakan, dan tidak bisa melahirkan anak atau keturunan.

Jika dipetakan, masalah-masalah di atas dapat menimbulkan ekses sosial. Kekerasan fisik, pemerkosan, diskriminasi, pencabulan, pencurian, penipuan, dan bahkan pembunuhan adalah contoh-contohnya. Gereja Katolik tentunya tidak berdiam diri. Gereja Katolik selalu mengupayakan jalan keluar mengenai persoalan yang rumah tangga yang menjurus pada perceraian.

Gereja Katolik Melarang Perceraian

Gereja Katolik melarang dan bahkan menolak perceraian. Meskipun upaya-upaya yang dilakukan dengan pelbagai macam usaha, perceraian dalam Gereja Katolik adalah tabu.

Penegasan penolakan itu, disampaikan oleh Gereja Katolik dalam upacara pemeteraian pasangan dalam perkawinan. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketegasan Gereja Katolik ini, diserukan dan dipertegaskan kembali oleh Kitab Hukum Kanonik. Bunyi Kanonik 1055.1:

Perjanjian (foedus) pekawinan, dengannya seseorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menutut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.”

Poinnya adalah, melalui perkawinan Gereja menghendaki setiap pasangan membentuk persekutuan yang tujuannya terarah kepada kesejahteraan bersama, memiliki anak, dan bahagia sebagai seorang pasang kekasih. Keterlibatan Gereja hanyalah memediasi dan memeteraikan hubungan. Membangun persekutuan, kebahagiaan, dan memilik anak adalah tugas dari setiap pasangan.

Kembali ke Tujuan Perkawinan

Gereja Katolik tidak dapat membenarkan praktek pezinahan, perselingkuhan, dan perceraian. Jika ditemukan ada kasus-kasus seperti yang telah disebutkan di atas tersebut, maka Gereja Katolik mengingatkan masing-masing pihak untuk kembali kepada tujuan perkawinan.

Pembahasan tentang hukum perkawinan berawal dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, Kanon 1055. Bunyinya:

  1. Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan perempuan membentuk antarmereka keberasamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya tearah pada kesejahteraan suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh       Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke    martabat sakramen.
  2. Karena itu, antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.

Tujuan dan hekakeat perkawinan dalam Kanon 1055 “1” dan “2” di atas, mencakup lima hal.

  1. Perkawinan adalah perjanjian kasih antara suami dan istri.
  2. Perkawinan adalah kesepakatan untuk senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup.
  3. Perkawinan bertujuan untuk kesejahteraan suami dan istri.
  4. Perkawinan terarah pada kelahiran dan pendidikan anak.
  5. Perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis adalah sakramen.

Dengan demikian, tindakan perceraian yang bertentangan dengan tujuan dan hakekat perkawinan tidak dibenarkan dan pihak tersebut dianggap mengabaikan makna dari pesan Injil Matius 19:6 ketika meteraikan oleh Gereja Katolik.

Solusi

Sebuah pasangan yang telah menikah secara katolik, dalam penyelesaian sengketa yang bisa menyebabkan runtuhnya pernikahan akan lebih baik untuk meminta mediasi dari pastor atau dari pihak gereja. Langkah ini sangat perlu dilakukan sebelum menempuh perceraian secara sipil jika merujuk UU Perkawinan yang mana setiap pasangan bisa bercerai sebagai jalan terakhir penyelesaian sengketa perkawinan. Meskipun demikian, untuk diketahui sebuah pasangan katolik yang bercerai secara sipil belum tentu telah diakui perceraian tersebut dalam gereja.

Baca Juga: Perkawinan Katolik Dalam Pandangan Gereja Katolik