Ketahui Konsekuensi Istri Menggugat Cerai Suami

Ketahui Konsekuensi Istri Menggugat Cerai Suami

“Terdapat beberapa konsekuensi apabila istri yang mengajukan gugatan cerai pada suami.”

Perceraian adalah situasi yang kompleks dan penuh emosi, tidak hanya bagi pasangan yang mengalami perceraian, tetapi juga bagi keluarga sekitarnya.

Dalam perceraian, tidak hanya diajukan dari pihak suami, tetapi juga dari istri. Seorang istri dapat melayangkan gugatan cerai gugat pada suami.

Ada banyak alasan yang dapat mendorong seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Alasan-alasan tersebut sangat bervariasi dan tergantung pada situasi individu dalam pernikahan. 

Beberapa di antaranya, bisa karena istri merasa ketidakcocokan, ketidakbahagiaan, suami dianggap tidak setia, kekerasan dalam rumah tangga, masalah komunikasi, masalah keuangan, perbedaan nilai, tujuan hidup, dan lain sebagainya.

Namun, perlu diketahui bahwa alasan-alasan yang dapat diterima di hadapan sidang Pengadilan Agama tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Selain itu, sebelum mengajukan gugatan cerai gugat terhadap suami, perlu dipikirkan secara bijak dan matang-matang karena terdapat beberapa konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut.

Proses perceraian melibatkan beberapa tahapan, seperti mengajukan gugatan cerai, pembagian harta, penentuan hak asuh anak (jika ada anak), dan negosiasi terkait dukungan finansial.

Lantas, apa saja konsekuensi istri menggugat cerai suami?

Baca juga: Perceraian dalam Islam: Penyebab, Bentuk, Syarat, Biaya, dan Akibat Hukumnya

Konsekuensi Hukum Istri Menggugat Cerai

Gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suaminya disebut gugat cerai. Dalam hal ini, istri sebagai penggugat dan suami sebagai tergugat.

Pada pokoknya, perceraian diatur dalam UU Perkawinan.

Sementara untuk prosedurnya (bagi pasangan beragama Islam) dirincikan dalam KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU Peradilan Agama).

Pasal 39 ayat (1) UU 1/1974 menjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan (Pengadilan Agama bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri bagi agama nonislam) berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dalam KHI, tepatnya pada Pasal 132 ayat (1), dijelaskan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

Seorang istri diperbolehkan untuk melayangkan gugatan perceraian melalui pengadilan dengan alasan perceraian tertentu.

Dalam hal ini, akan timbul salah satu konsekuensi hukum dari gugatan cerai istri, yaitu perkawinan akan putus setelah terdapat putusan pengadilan.

Baca juga: Mengenal Li’an, Tuduhan Suami pada Istri yang Berzina

Konsekuensi Cerai Gugat, Menimbulkan Hak-Hak untuk Istri

Sementara itu, berikut adalah konsekuensi perceraian yang menimbulkan hak-hak istri pasca cerai gugat, di antaranya (situs resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat):

  1. Berhak atas nafkah lampau, apabila dalam perkawinan tersebut, suami tidak memberikan nafkah;
  2. Perempuan berhak atas harta bersama yang dibagi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 dan Pasal 97 KHI, yaitu:
    • Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96 ayat (1) KHI).
    • Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya memiliki utang, maka harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama (Pasal 96 ayat (2) KHI).
    • Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI).
  3. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah (hak asuh atau hak pemeliharaan anak) bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Namun, ketentuan mengenai hak istri pasca cerai gugat memang tidak diatur secara rinci dalam KHI.

Sebaliknya, jika istri ditalak oleh suami (cerai talak), maka KHI sudah merinci akibat hukum yang ditimbulkan (hak istri) secara terkhusus. Lebih tepatnya, diatur dalam Pasal 149 KHI.

Baca juga: Hukum Talak: Fakta dan Akibatnya

Ketentuan Nafkah Istri yang Menggugat Cerai

Nafkah adalah dukungan finansial yang diberikan oleh suami kepada istri.

Gugatan cerai yang dilakukan istri memberikan konsekuensi terhadap ketentuan nafkah yang diberikan oleh suami.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa secara eksplisit, tidak dijelaskan hak istri setelah menggugat cerai suami dalam KHI.

Namun, Pasal 152 KHI menegaskan bahwa bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz

Nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum.

Terdapat ketentuan lain jika ditinjau dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (SEMA 3/2018).

Dalam Lampiran SEMA 3/18, dijelaskan bahwa hak istri setelah menggugat cerai suami dapat berupa nafkah mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak nusyuz.

Nafkah mut’ah yaitu pemberian bekas suami kepada istri berupa benda atau uang dan lainnya.  

Namun, hal tersebut sesuai dengan keputusan hakim yang berlandaskan keadilan.

Baca juga: Talak Adalah: Bentuk, Ucapan, Keabsahan, dan Prosedurnya

Alasan Menggugat Cerai Suami

Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang membuat suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai pasangan.

Terdapat beberapa alasan untuk isteri dalam menggugat suami jika ditinjau dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 116 KHI, yaitu sebagai berikut:

  1. Suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
  2. Suami meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
  3. Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap isteri;
  5. Suami mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami;
  6. Suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Baca juga: Mau Mengurus Surat Cerai Gugat? Perhatikan Hal-Hal Berikut!

Bolehkah Istri Menggugat Suami dengan Alasan Tidak Bahagia?

Gugatan cerai terhadap suami harus diputuskan secara bijak

Seorang istri dapat menggugat cerai suami dengan alasan tidak bahagia, karena definisi bahagia sangat beragam istrii harus menjelaskan alasan tersebut.

Ingin proses perceraian ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author: Genies Wisnu Pradana

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi