Hukum Talak: Fakta dan Akibatnya

Hukum Talak: Fakta dan Akibatnya

“Talak terkadang menjadi hal yang mampu memisahkan pernikahan sepasang insan.”

Hukum talak atau perceraian dalam Islam adalah subjek yang sangat sensitif dan kompleks.

Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai beberapa fakta terkait hukum talak.

Salah satu fakta yang wajib diketahui adalah bahwa talak tidak selalu menjadi akhir dari pernikahan.

Sebab, biasanya talak dianggap sebagai subjek yang kompleks dan sering kali salah dipahami oleh banyak orang.

Oleh karena itu, agar tidak lagi salah persepsi mengenai hukum talak, simak artikel ini sampai akhir.

Baca juga: Talak Adalah: Bentuk, Ucapan, Keabsahan, dan Prosedurnya

Dasar Hukum Talak

Dasar hukum talak dan perceraian tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tertuang dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1);
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 65 dan Pasal 66 ayat (1); dan
  • Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 129, Pasal 132.

Baca juga: Macam-Macam Talak dalam Perceraian Agama Islam

Ketentuan Dasar

Dilansir dari website resmi Pengadilan Agama Kuala Kurun, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI, perceraian karena talak tertuang dalam Pasal 114 KHI:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.” 

Sedangkan yang dimaksud dengan “talak” adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). 

Namun, perlu diketahui bahwa talak yang diakui secara hukum adalah talak yang diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.

Hal ini sesuai dengan Pasal 129 KHI, yang menyebutkan bahwa:

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Jadi, jika talak diucapkan di luar pengadilan itu hanya sah menurut hukum agama saja.

Maka, dampak dari talak yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah perkawinan suami istri tersebut belum putus secara hukum. 

Baca juga: Surat Talak: Tempat dan Keabsahan

Hukum Talak dalam Agama Islam

Menurut Abdul Ghofar Anshori yang dikutip dari buku berjudul Hukum Perceraian oleh Muh. Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, hukum talak dapat berubah jika terjadi situasi tertentu, seperti:

  1. Nadab atau sunnah, yaitu talak yang dilakukan dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga lebih banyak timbul mudharat.
  2. Mubah atau boleh saja dilakukan, yaitu bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian. Sementara itu, dari perceraian ini justru terlihat manfaatnya.
  3. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang harus dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak membayar kafarah sumpah agar ia tidak dapat bergaul (berhubungan badan) dengan istrinya. Tindakan dari suami itu tentu me-mudharat-kan istrinya.
  4. Haram atau dilarang dilakukan, yaitu talak yang dilakukan tanpa alasan. Sedangkan, istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu telah terjadi hubungan badan.

Baca juga: Tata Cara Rujuk pasca Cerai Akibat Talak

Apa Hukumnya Jika Suami Sudah Mengucapkan Talak?

Dilansir dari situs web resmi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, disebutkan bahwa seorang suami yang sudah menjatuhkan talak terhadap istrinya maka itu bermakna talak sudah dijatuhkan dengan artian suami istri tersebut telah bercerai.

Jika melihat dari pendapat Jumhur Ulama, maka talak ini merupakan hak suami sehingga kapan saja talak dijatuhkan itu hukumnya sah, baik ada saksi maupun tidak ada saksi. 

Namun, berdasarkan hukum positif Indonesia sesuai dengan yang sebelumnya telah dipaparkan, suami yang akan mentalak istrinya harus meminta izin ke Pengadilan Agama bahwa ia akan mengikrarkan talak terhadap istrinya. 

Baca juga: Catat! Ini Prosedur Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Akibat Hukum dari Talak

Selain putusnya perkawinan, talak juga memiliki akibat hukum yang berkaitan dengan hak istri.

Sebab, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KHI, suami yang melakukan talak memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak istri pasca perceraian.

Hak-hak istri pasca cerai talak yang dimaksud meliputi (Pasal 149 KHI dan situs resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat): 

  1. Memberikan mut’ah (kenang-kenangan pasca cerai) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum pernah berhubungan badan).
  2. Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.
  3. Melunasi mahar yang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul (belum pernah berhubungan badan).
  4. Memberikan biaya hadhanah (pengasuhan anak) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
  5. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan suami tidak memberi nafkah.
  6. Perempuan berhak atas harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama antara lain:
    • Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96 ayat (1) KHI).
    • Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya memiliki utang, maka harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama (Pasal 96 ayat (2) KHI).
    • Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI).
  7. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Ingin proses perceraian ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author: Lailatul Masrurah

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi