Harta Gono-Gini Adalah: Seluk-beluknya dalam Hukum Perkawinan

Harta Gono-gini Adalah: Seluk-beluknya dalam Hukum Perkawinan

“Pasca bercerai, yang menjadi krusial adalah pembagian harta gono-gini.”

Perceraian adalah salah satu peristiwa yang paling memengaruhi aspek finansial dalam kehidupan seorang individu atau pasangan. 

Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan saat bercerai adalah pembagian harta gono-gini.

Dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU Perkawinan), tidak diatur secara spesifik terkait definisi harta gono-gini. 

Namun, harta gono-gini bisa dikaitkan dengan Pasal 35 UU Perkawinan, yang mengatur harta benda dalam perkawinan.

Pembagian harta gono-gini pasca perceraian merupakan proses yang rumit.

Oleh karena itu, penting untuk mencari nasihat/ahli hukum yang kompeten dan memahami hak dan kewajiban para pihak.

Lantas, bagaimana penjelasan lebih lanjut terkait harta gono-gini?

Baca juga: Perceraian dalam Islam: Penyebab, Bentuk, Syarat, Biaya, dan Akibat Hukumnya

Definisi Harta Gono-Gini

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tidak ada definisi baku mengenai harta gono-gini.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “gono-gini” secara baku dituliskan dengan “gana-gini”.

“Gana-gini” yang merujuk dari KBBI adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.

Sementara itu, menurut Sayuti Thalib dalam bukunya berjudul Hukum Keluarga Indonesia, dijelaskan bahwa harta gono-gini adalah perolehan harta selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama antara suami dan istri.

Baca juga: Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di Indonesia

Objek yang Termasuk Harta Gono-Gini

Pada Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 dijelaskan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Konsep inilah yang disebut dengan istilah harta gono gini. 

Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Lebih lanjut, pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, disebutkan bahwa harta bawaan, warisan, atau hadiah, baik suami dan istri di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Harta gono gini juga diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Pada pokoknya, Pasal 119 KUHPerdata menjelaskan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami dan istri sejauh tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam perjanjian perkawinan.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan yang termasuk harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi harta bersama suami dan istri, tetapi tidak termasuk hadiah dan warisan yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

Baca juga: Bagaimana Pembagian Harta Setealah Perceraian?

Kemudian, merujuk dari buku Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung yang ditulis oleh Abdul Manaf, pembagian harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta gono-gini meliputi:

Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

Setiap barang yang dibeli selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta gono-gini.

Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta gono-gini

Suatu barang termasuk yurisdiksi harta gono-gini atau tidak ditentukan oleh asal-usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian.

Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan

Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta gono-gini.

Penghasilan harta gono-gini dan harta bawaan

Penghasilan dari yang berasal dari harta gono gini menjadi yurisdiksi harta gono-gini, termasuk penghasilan dari harta pribadi suami istri. Segala penghasilan pribadi suami dan istri.

Sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami istri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta gono-gini.

Penggabungan penghasilan pribadi suami istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.

Baca juga: Pembagian Warisan Berkaitan dengan Harta Perkawinan di Dalamnya

Pembagian Harta Gono-Gini pasca Bercerai

Jika terjadi perceraian, maka harta bersama dapat dibagi antara suami dan istri.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan, yang menjelaskan bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Maksud dari “menurut hukum masing-masing” adalah ketentuan mengenai harta gono-gini dapat dilakukan dengan tiga alternatif, yaitu berdasarkan hukum perdata, hukum agama, hukum adat, atau bahkan hukum lainnya.

Dalam hukum Islam, pembagian terkait harta gono-gini pasca cerai diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Tepatnya pada Pasal 97 KHI, yang menjelaskan bahwa janda atau duda cerai masingmasing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.  

Kemudian, Pasal 128 KUHPerdata juga diatur bahwa setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang itu diperolehnya.

Maka, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat ketentuan baku mengenai jumlah pembagian harta gono-gini pasca perceraian.

Namun, pembagian atas harta gono-gini tersebut dapat berpedoman pada ketentuan hukum masing-masing yang digunakan, baik hukum perdata, hukum islam, hukum adat, maupun hukum lainnya.

Baca juga: Mengenal Hukum Waris Perdata di Indonesia

Haruskah Ada Pembagian Harta Gono-Gini?

Pembagian harta tersebut dapat berupa utang atau piutang.

Namun, pembagian harta gono-gini dapat tidak berlaku jika suami dan istri telah memperjanjikan pisah harta, sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian perkawinan.

Pembagian harta gono-gini sangat disarankan karena merupakan hak dari masing-masing suami dan istri selama tidak ada perjanjian lain yang mengatur.

Sebab, jika tidak ada perjanjian pra nikah atau perjanjian kawin, maka semua harta yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai harta bersama atau gono-gini.

Jadi, setelah dilakukan perceraian, harta bersama harus dibagi menjadi dua bagian yang sama besar satu untuk mantan suami dan satu untuk mantan istri. 

Apabila tidak mencapai kesepakatan dalam penentuan pembagian harta gono-gini, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama bagi pasangan Islam atau Pengadilan Negeri bagi pasangan nonmuslim.

Ingin perjanjian dan pembagian harta gono-gini diurus oleh advokat yang tepat dan berpengalaman? Dapatkan layanan jasa advokat tersebut pada KantorPengacara.co, dengan cara menghubungi nomor berikut: 08111339245.

Author: Genies Wisnu Pradana

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi