Wajibkah Suami Memberi Nafkah Istri?

“Nafkah istri terdiri dari berbagai jenis.”

Pada dunia pernikahan, terdapat banyak tanggung jawab dan komitmen yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.

Salah satu komitmen suami yang sangat penting adalah menafkahi istrinya.

Dalam hal ini, menafkahi istri merujuk pada tanggung jawab suami untuk memberikan dukungan finansial kepada istri dan keluarga mereka.

Selain itu, perkara menafkahi istri dapat mempengaruhi hubungan suami istri serta keluarga secara keseluruhan.

Ketentuan mengenai menafkahi istri diatur dalam beberapa peraturan, di antaranya:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974).
  2. Kompilasi Hukum Islam (KHI), untuk pasangan suami istri yang beragama Islam.

Nafkah istri adalah kewajiban suami untuk menyediakan kebutuhan dasar istri, seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, serta kebutuhan sehari-hari lainnya.

Namun, pemenuhan nafkah dalam hubungan keluarga juga dapat dibangun bersama-sama dengan istri.

Contoh nyatanya adalah ketika seorang istri dapat memiliki penghasilan sendiri atau sebagai ibu rumah tangga yang dapat mengelola keuangan dengan baik.

Hal ini sebagai kerja sama dalam membangun keluarga yang rukun dan bahagia.

Lantas, bagaimana ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban untuk menafkahi istri?

Baca juga: Apakah Suami Boleh Melarang Istri Kerja?

Jenis Nafkah Istri

Dalam Hukum Islam, nafkah merupakan salah satu bentuk kewajiban suami.

Berdasarkan Pasal 80 ayat (4) KHI, terdapat 3 jenis nafkah, yaitu sebagai berikut:

  1. Nafkah, kiswah (pakaian), dan tempat kediaman bagi istri;  
  2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;  
  3. Biaya pendidikan bagi anak.  

Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin (penyerahan diri) sempurna dari istrinya (Pasal 80 ayat (4) KHI).

Bahkan, apabila terjadi perceraian, suami juga masih ada kewajiban untuk menafkahi mantan istrinya tersebut.

Istilah nafkah istri setelah atau pada masa perceraian dalam KHI meliputi:

  1. Nafkah iddah, yaitu nafkah istri yang wajib diberikan oleh mantan suaminya ketika terjadi perceraian karena talak (Pasal 152 KHI).
  2. Nafkah mut’ah, yaitu pemberian bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya (Pasal 1 huruf j KHI).

Namun, kewajiban atas nafkah istri pasca cerai tersebut tidak berlaku apabila istri nusyuz (tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban istri).

Baca juga: Mengenal Li’an, Tuduhan Suami pada Istri yang Berzina

Hukum Menafkahi Istri

Mengenai apakah nafkah istri wajib atau tidak dapat, sebenarnya bervariasi.

Hal tersebut tergantung pada hukum yang berlaku dan juga dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, dan perjanjian antara pasangan suami-istri.

Secara umum, dalam kehidupan bermasyarakat dan aturan agama, suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri mereka.

Hal ini sering dianggap sebagai tanggung jawab moral, etis, atau agama yang mendasari pernikahan.

Secara hukum, kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU 1974, yaitu suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, dipertegas kembali dalam Pasal 80 ayat (2) KHI, bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Namun, pelaksanaan terkait kewajiban untuk menafkahi istri tersebut dapat berbeda jika terdapat perjanjian perkawinan.

Walau begitu, pada dasarnya suami memiliki kewajiban untuk menafkahi. Sementara itu, istri dapat membantu guna membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia.

Ingin proses perceraian ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author: Genies Wisnu Pradana

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi