Hak Asuh Bayi bila Ibunya Meninggal Dunia Saat Melahirkan

Dalam kehidupan berumah tangga, sering juga terjadi kasus dimana seorang ibu meninggal dunia setelah melahirkan dan terjadi perselisihan tentang hak asuh atas anak yang baru saja dilahirkan itu. Tentunya ada hukum yang diterapkan untuk kasus seperti itu. Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang siapa yang berhak mengasuh bayi yang baru saja lahir dan ibunya meninggal dunia sesuai dengan hukum yang berlaku.

Seorang bayi yang baru lahir dikategorikan sebagai anak sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”):

 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pada dasarnya, setiap anak berhak untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan akan hak-haknya, agar dapat hidup, bertumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 3 UU Perlindungan Anak.

Berkaitan dengan kasus seperti yang diuraikan di atas, dalam UU Perlindungan Anak dikenal istilah kuasa asuh, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya (Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak). Adapun yang dimaksud dengan orang tua menurut UU ini adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat [lihat Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan Anak].

Hal ini berarti, selama orang tuanya masih hidup, yang berhak dan memiliki kuasa asuh adalah orang tua dari si anak. Antara lain jika ayahnya masih hidup. Dengan demikian, yang berhak membesarkan dan mengasuh bayi tersebut adalah ayahnya.

Aturan ini dipertegas dalam Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:

  1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
  2. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. Hal ini terdapat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak.

Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 14 UU Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Oleh karena itu, jika dalam kasus seorang bayi yang ibunya meninggal dunia saat melahirkan, selagi ayahnya masih ada, anak tersebut berhak untuk dibesarkan oleh ayahnya. Hal ini semata-mata bertujuan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. Namun, hal ini berbeda jika karena alasan tertentu dan/atau aturan hukum, ayahnya tersebut tidak dapat menjamin tumbuh kembang bayi atau bayi dalam keadaan terlantar, maka bayi itu berhak diasuh oleh orang lain. Intinya adalah pemisahan tersebut dilakukan semata-mata demi kepentingan anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pemisahan yang dimaksud ini pun tidak boleh menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya [penjelasan Pasal 14 UU Perlindungan Anak].

Baca Juga: Putusan Perceraian dan Perkara Harta Gono-Gini 

Jika bayi tersebut karena alasan tertentu tidak dapat diasuh oleh ayahnya, maka untuk kepentingan si bayi, yang berhak mengasuh kemudian adalah keluarganya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 26 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang berbunyi:

  1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
    • mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
    • menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
    • mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
  2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari Pasal 26 UU Perlindungan Anak ini, kita dapat mengetahui bahwa ayah si bayi memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengasuh bayi tersebut. Apabila ayahnya tidak ada atau karena suatu sebab tidak bisa menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab itu beralih kepada keluarganya.

Adapun yang dimaksud keluarga menurut Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Anak adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Jadi, keluarga di sini adalah keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ke tiga, yakni  orang tua si istri maupun mertuanya yang mana mereka adalah kakek/nenek dari si bayi.

Perlu diketahui juga, jika ayah dari bayi itu melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh ini dilakukan melalui penetapan pengadilan. Lalu kemudian, di sinilah kakek dan nenek dari bayi dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu [Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1) UU Perlindungan Anak].

Hal terpenting (spirit) yang disampaikan dalam UU ini adalah hubungan antara anak dan orang tua jangan sampai terputus dan agar anak dapat menghormati orang tuanya. Sekalipun anak dipisahkan oleh orang tuanya karena suatu hal, akan tetapi hal itu tidak boleh menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya sebagaimana yang telah jelaskan di atas.

Akan tetapi lain halnya jika sebelumnya telah terjadi perceraian antara si ayah dan si ibu. Jika telah terjadi perceraian, dan si ibu meninggal dunia, maka berdasarkan Pasal 156 KHI dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, urutan yang berhak mengasuh anak adalah:

  1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
  2. ayah;
  3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
  4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
  5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
  6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Demikian artikel ini dibuat sebagai salah satu bacaan tambahan dalam konteks hak asuh anak. Jika anda membutuhkan bantuan hukum terkait permasalahan hak asuh anak dalam hubungan perkawinan maka bisa menghubungi kami – Pengacara Perceraian Jakarta–  melalui website ini.

sumber: google