Apa Itu Penelantaran Terhadap Anak Pasca Cerai?

Pengacara perceraian – Dalam sebuah kasus perceraian, hak asuh anak akan diputuskan oleh pengadilan. Tetapi, kewajiban kedua orang tua dalam mengurus dan membesarkan anaknya tetap harus berjalan dengan baik. Namun, keadaan seperti yang diharapkan seringkali tidak sesuai dengan kenyataannya. Yuk kupas tuntas apa itu penelantaran terhadap anak pasca cerai?

Penelantaran anak berarti tidak memenuhi haknya sebagai anak. Hal ini akan menimbulkan efek psikologis bagi anak dan dampaknya dapat membekas dalam jangka panjang. Selain berdampak pada perasaan orang tuanya, anak lah yang merasakan dampak paling besar dari sebuah perceraian.

Simak ulasan berikut ini, agar Anda lebih paham seputar nafkah anak pasca perceraian.

Kewajiban mantan suami (atau orang tua) memberikan nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Juga beberapa kewajiban yang tetap harus dilakukan oleh mantan suami, di antaranya:

  1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
  2. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
  4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Pada dasarnya anak tetap berhak memperoleh nafkah dari kedua orang tuanya telah bercerai. Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Pasal 14 UU 35/2014 menyatakan:

  1. Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
  2. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
    • Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
    • Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
    • Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
    • Memperoleh Hak Anak lainnya.

Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014  menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan Anak dengan kedua Orang Tuanya, seperti Anak yang ditinggal Orang Tuanya ke luar negeri untuk bekerja, Anak yang Orang Tuanya ditahan atau dipenjara.

Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan menyatakan:

  1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
    • Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya;
    • Ia berkelakuan buruk sekali.
  2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pun telah menyebutkan bahwa;

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran dalam rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Tindakan penelantaran terhadap anak sebagaimana dijelaskan pada Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak. UU 35/2014 juga mengatur larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Setiap Orang yang melanggar ketentuan ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. Sanksi bagi bapak yang tidak menafkahi anaknya tersebut adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Baca Juga: Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai