Perkawinan Usia Dini Dari Sudut Pandang Berbeda

Pengambilan Putusan Cerai – Perkawinan usia dini menjadi sangat krusial untuk dibahas. Ia menjadi penyebab munculnya pelbagai tanggapan masyarakat. Kebanyakan pendapat masyarakat melarang usia perkawinan dini.

Anggapan yang beredar luas, antara lain, disebabkan faktor usia produktivas.  Anak di bawah 19 tahun dilarang menikah, karena mereka belum dapat menghasilkan sesuatu. Selain itu, mempertimbangkan juga masa depan mereka.

Efek dari perkawinan dini, antara lain seorang anak laki-laki ataupun perempuan terpaksa tidak dapat melanjutkan persekolahan mereka. Banyak pula pandangan yang melihat perkawinan dini membuat masa depan seorang anak  menjadi suram. Dikucilkan dari masyarakat. Dibatasi pergaulan mereka. Bahkan pada kasus yang tertentu ada yang sampai melakukan tindakan bunuh diri karena malu.

Untuk mengantisipasi praktek-praktek seperti di atas tersebut, biasanya pemerintah bekerja sama dan melakukan sosialisasi dengan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang anak dan perempuan. Tujuannya, menyadarkan mereka akan pentingnya masa depan daripada perkawinan dini.

Pasal yang Diperolehkan

Pemahaman mengenai usia produktif seorang pria dan wanita untuk bisa menikah berbeda-beda. Selain itu, seorang wanita dianggap telah dewasa pun berbeda. Ada yang menyebutkan bahwa usia 18 tahun seorang wanita dianggap telah dewasa, sementara pandangan lain menyebutnya pada usia 21 tahunlah yang paling tepat.

Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 secara eksplisit memungkinkan ketentuan perkawinan umur 19 tahun. Bunyi pasal tersebut:

  • Perkawainan hanya mungkin diizinkan apabila pria dan sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
  • Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak perempuan atau wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
  • Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
  • Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seseorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) berlaku juga ketentuan mengenai dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Merujuk pasal-pasal di atas tersebut, dengan jelas diterangkan bahwa perkawinan dalam usia dini dapat dilakukan. Namun, supaya tidak terjadi perselisihan atau pertengan antara kedua belah pihak, keberlangsungan perkawinan atau pernikahan harus mengikuti persyaratan tertentu. Selain itu, perkawinan usia dini yang dimaksud hanya berlaku dalam kondisi tertentu yang mana harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan.

Dampak Buruk Perkawinan Dini

Meskipun secara tidak langsung pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 membenarkan pernikahan atau perkawinan dini, adapun dampak yang ditimbulkan dari perkawinan dini. Dampak yang paling menonjol ialah efek psikologi.

Dampak psikologi perkawinan dini berkaitan dengan kejiwaan. Bersinggungan dengan kejiwaan berarti berhubungan dengan pikiran. Pikiran dihubungkan dengan tindakan. Dengan demikian, dampak dari pernikahan dini dapat menyebabkan gangguan psikologi yang berimbas pada terganggunya seluruh pikiran dan pola tindakan. Kalau pikiran dan kejiawaan sudah terganggu, dengan sendirinya tindakan atau pebuatan tidak teratur. Dampak buruknya, seorang bisa mengalami gangguan jiwa.

Memang masih sangat problematis bunyi pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 di atas. Diberlukannya ketentuan perkawinan dini seolah mengindahkan anak-anak non-produktif untuk cepat-cepat menikah. Bahkan, diberlakukannya 7 ayat (2) UU 16/2019 tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan yang gencar diperjuangkan LSM-LSM. Mereka selalu menolak perkawinan usia dini, apapun alasannya.

Baca Juga: Wacana Pelakor dan Pasal yang Menjeratnya