Persoalan Utang-Piutang Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Pengurusan Somasi perkawinan – Utang piutang adalah perkara manusia. Setiap manusia pasti berutang. Tujuan dari berutang adalah demi menambah kebutuhan ekonomi keluarga. Bohong jikalau di antara kita tidak berhutang. Ataukah mustahil bagi manusia ingin memenuhkan hasrat dan ambisi tanpa berutang. Itulah tujuan kita berutang. Semakin bertambah kebutuhan,  permintaan semakin meningkat.

Ada beragam alasan dan tujuan orang berutang. Alasan-alasan di atas hanyalah sekelumit orang berutang. Namun, karena hasrat dan ambisi banyak orang sampai lupa diri. Imbasnya, utang bertambah dan tidak luput dikejar kreditor akibat wanprestasi. Akibat yang lebih parahnya lagi, karena tidak sanggup membayar utang-utang tersebut pihak debitur melarikan diri. Lantas, siapakah pihak yang bertanggung melunasi utang debitur?

Tanggung Jawab Bersama

Pertanyaan di atas, menyesakkan hati jika kita sendiri yang mengalaminya. Ada pihak keluarga yang dengan sengaja, misalnya, melibatkan kita dalam proses pelunasan utang-piutang mereka. Apalagi tanpa diketahui pangkal peminjaman dan besar pelunasan serta bunga mencekek leher, pihak kreditur bermaksud mempidanakan kita.  Pertanyaannya, bagaimanakah sikap kita? Dalil hukum pidana apa yang bisa membentingi diri dari kejaran kreditur?

Pertama, sikap kita. Sikap kita dalam menghadapi orang yang menyerahkan tanggung jawab pelunasan utang kepada kita, ialah dengan menempuh jalur hukum. Jalur hukum yang dimaksudkan di sini jalur di luar pengadilan. Hal ini, bertujuan menyelesaikan konflik dengan cara damai dan sekaligus mencari keluar bagi penyelesaian pelunasan utang. Pihak yang beritikad baik pada akhirnya bisa menyelesaikan masalah dengan baik.

Namun, karena berkaitan dengan utang-piutang, maka dibutuhkan pihak kompeten dalam bidangnya. Berdasarkan persetujuan kedua pihak, penyelesaian melalui jalur mediasi dapat melibatkan para ahli, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat. Hal ini dinyatakan jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung Pasal 26 PERMA No. 1/2016.

  • (1) Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator  dapat menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat.
  • (2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli dan/atau   tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kehadiran para tokoh-tokoh penting sebagaimana dimaksudkan di atas, karena bisa berdampak positif terhadap penyelesaian utang. Sekaligus, menengahi persoalan debitur dan pihak yang diberikan tanggung jawab pelunasan utang.

Kedua, dalil hukum. Bunyi pertanyaan di atas, menuntut kita agar membentengi diri secara hukum apabila kita dikejar kreditur. Dikejar yang maksudkan di sini, disebabkan kelalaian pelunasan debitur dan kewajiban-kewajiban pelunasan selanjutnya diserahkan kepada pihak. Konsekuensinya, pihak kreditor sewaktu-waktu dapat menuntut kita dan mengambil sebagian barang kita sebagai jaminan debitur. Untuk mengantisipasi itu, dalil hukum yang dapat kita pakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Pasal 362:

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Apabila tindakan perampasan dilakukan secara paksa dan didahului dengan kekerasan, pihak kreditur dapat dipidanakan sesuai ketentuan pasal 365 ayat (1) KUHPerdata.

            Pasal 365 ayat (1):

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian   yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk            memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

Ketentuan pasal di atas hanya berlaku pada kasus causa prima. Lantas, tanggung jawab siapakah apabila pihak debitur memiliki utang sebelum nikah?

Ada banyak jenis tanggung jawab yang dapat meringankan beban utang debitur. Tanggung jawab yang dimaksudkan di sini, dipahami sebagai tanggungan pelunasan yang dapat dilakukan pelbagai pihak, katankalah suami atau istri atau pihak keluarga, dalam proses penyelesaian masalah utang-piutang. Akan tetapi, dalam konteks menjawab pertanyaan di atas, pelunasan utang wajib dilakukan oleh suami istri secara bersama-sama.

Artinya, pelunasan utang pribadi dilakukan atas persetujuan salah pihak dalam ikatan perkawinan. Hanya ikatan perkawinan berlandaskan hukum dan perjanjian yang dapat menyelesaikan proses pelunasan utang. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, menjelaskan dengan jelas.

  • Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  • Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
  • Perjanjian tersebut muali berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuail ketentuan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
  • Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak lain.

Kalimat kunci pasal di atas, ialah ikatan perwakinan yang sah menjadi kekuaatan hukum dalam proses pelunasan utang pribadi. Dan pelunasan dapat dilakukan dengan menggunakan harta harta bersama melalui kesepakatan perjanjian.

Baca Juga: Menyikapi Utang Pribadi: Dalam Pernikahan dan Saat Perceraian?