Apakah Kawin Lari Melanggar Hukum?

Pengurusan Somasi perkawinan – Kawin lari sudah menjadi istilah umum bagi pasangan yang melangusngkan perkawinan tanpa restu dan sepengetahuan orang tua. Selain itu, kawin lari juga bisa disematkan pada tindakan untuk tetap melakukan perkawinan meskipun ada perlawanan atau halangan dari orang tua.

Kondisi paling umum yang menyebabkan kawin lari adalah tidak adanya restu dari orang tua terhadap pasangan yang hendak menikah dengan alasan apa pun. Pada kasus yang mana pihak orang tua wanita tidak mau menerima kekasih putri untuk menjadi calon menantu misalnya, menyebabkan wanita dengan suka rela pergi bersama pria tersebut dan melakukan perkawinan meskipun orang tuanya tidak setuju.

Pertanyaan mengenai apakah kawin lari salah atau bisa dibenarkan, akan tergantung dari motifnya. Pada beberapa kasus yang mana ketidaksetujuan orang tua hanya karena latar belakang calon suami atau istri dari anaknya tidak mapan, bisa menyebabkan peristiwa kawin lari bisa dimakmlumi dengan syarat bahwa kedua pasangan tersebut menikah atas dasar kesepakatan bersama dan telah cukup umur.

Jadi, permasalahan utama dari kasus kawin lari adalah restu orang tua. Meskipun dalam perundang-undangan, restu orang tua bagi pasangan yang sudah cukup umur yang memutuskan kawin tidaklah wajib.

Perkawinan Adalah Hak Bagi Pasangan Yang Saling Mencintai

Perundang-undangan telah mengatur mengenai hak bagi seseorang untuk memilih kawin dengan calon suami/istrinya selama hal tersebut tidak melanggar hukum. Artinya, dalam kondisi bahwa kedua psangan tersebut tidak memiliki halangan kecuali protes/larangan orang tua, maka mereka tetap bisa melangsungkan perkawinan asalkan tidak melanggar hukum.

Untuk melihat apakah perkawinan tersebut melanggar hukum atau tidak, maka merujuk pada Undang-Undang Perkawinan.

  • Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  • Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
    1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
    2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
    3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
    4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
    5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
    6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dari pasal di atas maka bisa diketahui bahwa seseorang yang telah berusia 21 tahun tetap bisa menikah meskipun tanpa restu dari orang tua. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginan yang menggangu kelancaran dalam berumah tangga, sebaiknya pasangan tersebut mendapatkan restu dari wali untuk menggantikan restu orang tua.

Baca Juga: Bisakah Kawin Siri Dianggap Zinah?