Hak Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam

Pengambilan Putusan Cerai – Dalam kehidupan berkeluarga, pembagian harta warisan mesti dilihat berdasarkan garis keturuan atau  yang sedarah. Seorang ahli waris berhak menerima apa yang menjadi haknya, jika orang tua atau suami atau istri dinyatakan meninggal atau bercerai.

Pembagian harta warisan mesti merata, adil, dan harus diberikan sesuai kesekapatan. Seorang yang bukan ahli waris tidak berhak mengambil dan atau menjual yang bukan miliknya. Dalam hal ini, paman, orang tua, bibi, dan keluarga lain, yang dikelompokkan golongan kedua.

Untuk konteks ahli waris kandung atau sedarah, hak warisan menjadi sepenuhnya milik anak dan atau istri kalau suami dan atau mantan suami dinyatakan meninggal. Pihak-pihak lain tidak boleh menggugat atau bermaksud merampas. Hal ini juga berlak jiks suami masih hidup meskipun sudah bercerai atau pisah hubungan.

Legitimasi Hak Ahli Waris

Ada dua sistem hukum pewarisan di Indonesia, yakni sistem hukum warisan berdasarkan hukum barat dan pewarisan menurut hukum Islam yang merujuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pertama, sistem waris barat ini dimaksudkan hak warisan diberikan kepada Warga Negara Indonesia, selain muslim dan dikhususkan kepada yang mulslim, tetapi tunduk di bawah hukum barat. Menurut Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menerima atau menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan atau anak, suami atau istri yang hidup terlama.

Kedua, merujuk Pasal 174 KHI, ahli waris dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni:

  1. Ahli waris menurut hubungan darah:
  • Golongan laki-laki terdiri atas ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
  • Golongan perempuan terdiri atas ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
  1. Ahli waris menurut hubungan perkawinan terdiri atas duda atau janda.

Menurut KUHPerdata penggolongan ahli waris dibedakan empat kelompok, sebagai berikut:

  1. Golongan pertama, yaitu anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah. Mulai tahun 1935 hak mewaris suami atau istri yang hidup terlama disamakan dengan seorang anak yang sah (Pasal 852a KUHPerdata).
  2. Golongan kedua, orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
  3. Golongan ketiga, Pasal 853 dan Pasal 854 KUHPerdata, dalam hal tidak ada gol. Pertama dan gol. Kedua, maka harta peninggalan harus dibagi menjadi dua (kloving), setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, dan setelah lagi untuk kakek-nenek dari pihak ibu.
  4. golongan ke empat, sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam.

Persoalan Hak Ahli Waris

Sebagaimana dijelaskan di atas, seorang atau kelompok yang berhak menerima warisan, ialah mereka yang sedarah dengan pewaris. Namun, terkadang timbul persoalan, seseorang yang bukan keluarga sedarah merampas dan atau mengklaim kepemilikan warisan. Mereka itu berasal dari golongan kedua, yakni orang tua dan atau saudara-saudara kandung pewaris. Dalil mereka, karena istri sah dan anaknya pergi meninggalkan suami dengan alasan tidak jelas atau karena sakit.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, terutama Pasal 177 dan 178 ayat (1) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara umum (lex generalis), sedangkan pasal 178 ayat (2) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara khusus (lex specialis), yaitu bila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari duda atau janda.

Lebih lanjut, menurut pasal di atas, ayah dan ibu mendapat warisan sebanyak seperenam. Jika ibu mewaris bersama-sama dengan ayah, maka ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda dan atau duda.

Jika di kemudian hari ayah atau ibu ingin menjual harta warisan berupa rumah, maka harus mendapat ijin istri sah dari pewaris dan atau meminta persetujuan kepada anak sebagai ahli waris. Sebab, menurut KUHPerdata di atas, golongan a.1 merupakan kelompok pertama yang berhak menerima dan menentukan harta warisandari pewaris (suami).

Kalaupun ternyata tidak disetuji oleh istri sah dan atau anak pewaris sah, maka orang tua atau saudara kandung dapat menggugat putusan tersebut di ranah pengadilan agama. Bunyi Pasal 188 KHI menyebutkan:

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.

Baca Juga: Status Kewarganegaraan Dalam Pernikahan Campur