Hak Istri Atas Gaji Suami Menurut Hukum

Pengambilan Putusan Cerai – Dalam sebuah ikatan pernikahan, terdapat beragam persoalan suka duka hidup bersama. Tak dapat dielakkan terkadang sebuah masalah dapat memicu pertengkaran hingga berujung ke perceraian. Berikut ini terdapat empat pertanyaan dari sekelumit masalah dalam hidup berumah tangga yakni tentang nafkah atau gaji atau pendapatan suami   Jika ada seorang istri yang meninggalkan suaminya tanpa pemberitahuan apapun ke suami,

1) Apakah diperbolehkan menurut hukum perkawinan, jika suami tidak memberikan nafkah atau gaji kepada istri;

2) Jika dalam satu waktu tertentu kemudian istri menuntut nafkah atau gaji kepada suami, apakah suami dibenarkan oleh hukum untuk tidak memberikannya;

3) Jika si istri mengajukan cerai, bagamana status harta gono-gini padahal harta masih merupakan kredit dari bank dan masih dalam proses angsuran?;

4) Apakah istri berhak atas harta yang diperoleh dari pinjaman bank padahal uang yang digunakan untuk membayari angsuran rumah dan mobil selama ini bersumber dari gaji suami mengingat si istri tidak memiliki pekerjaan dan si suami mengatasnamakan rumah dan mobil tersebut atas nama istri yang pergi tanpa berita tersebut

 

Pertama, Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam Pasal 30 UUP yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri, disebutkan bahwa “…Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat…”. Kemudian, Pasal 34 ayat (1) UUP mengatur bahwa “…Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya…”

Dengan demikian, suami wajib memberikan segala sesuatu termasuk nafkah bagi istrinya untuk hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan suami, namun apabila si istri meninggalkan suami tanpa ada berita/pemberitahuan apapun kepada suami, maka suami atau istri telah melalaikan kewajibannya masing-masing, dan si suami atau istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Pasal 34 ayat (3) UUP mengatur bahwa ”…Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan…”.

Kedua, selama suami istri masih terikat dalam suatu perkawinan yang sah, dan belum adanya Putusan Pengadilan yang menyatakan perkawinan suami istri putus karena perceraian, maka suami wajib memberikan segala seuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 34 ayat (1) UUP.

Ketiga, mengenai perolehan harta benda benda di dalam Perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UUP yang menyebutkan:

  1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sehingga apabila harta tersebut masih merupakan kredit dari bank, dan diperoleh selama perkawinan, maka tetap harta tersebut harta milik bersama (suami istri) dan apabila terjadi perceraian, maka segala hutang atas harta bersama tersebut, menjadi tanggung jawab suami dan istri tersebut.

Keempat, selama harta tersebut diperoleh dalam perkawinan, maka suami istri tersebut berhak atas harta tersebut walaupun si istri tidak bekerja, serta rumah dan mobil atas nama si istri, dan apabila terjadi perceraian, maka harta yang diperoleh selama perkawinan akan dibagi berdasarkan undang-undang dan putusan pengadilan.

Berikut ini adalah sekedar tambahan yang sekiranya perlu diperhatikan apabila di kemudian hari si istri meminta cerai. Jika terjadi demikian, maka permintaan cerai si istri harus melalui Pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang muslim, dan Pengadilan Negeri untuk non-muslim) dengan mengajukan Gugatan cerai kepada si suami. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP No. 9 Tahun 1975”) menyebutkan:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya ;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain ;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri ;
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Jadi, alasan istri untuk meminta cerai harus memenuhi salah satu dari alasan-alasan perceraian yang telah dikemukakan di atas, itulah alasan-alasan untuk mengajukan perceraian di Pengadilan. Ketentuan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975, menyebutkan “…Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan…”

Baca Juga: Persoalan Utang-Piutang Menjadi Tanggung Jawab Bersama