Hukum Waris di Indonesia

Pengambilan Putusan Cerai – Di Indonesia ada 3 hukum yang mengatur tentang pembagian warisan, yaitu hukum adat, hukum waris perdata, dan hukum waris islam. Ketiganya mempunyai dasar dan tata cara pembagian tersendiri. Dalam sebuah keluarga tentunya hal ini dapat menjadi sebuah polemik yang memicu keretakan. Oleh karena itu penting sekali untuk mempelajari ketentuan dalam hal pembagian warisan.

Pembagian Warisan Dengan Hukum Waris Adat

Ada 3 sistem yang menjadi patokan dalam hukum waris adat, yaitu:

  • Sistem patrilineal
  • Sistem matrilineal
  • Sistem parental atau bilateral

Ketiga sistem tersebut memiliki peraturan yang berbeda-beda pada setiap penerapannya, berdasarkan dengan adat atau komunitas di daerah tersebut.

Sistem patrilineal

Sistem ini menganut pembagian warisan berdasarkan keturunan dari pihak ayah/bapak, sehingga perempuan tidak mendapatkan bagian dari warisan. Beberapa suku di Indonesia masih menerapkan sistem pembagian warisan dengan cara ini, sebut saja Batak, Gayo, Nias, Lampung, NTT, dan lain sebagainya.

Sistem matrilineal

Sistem ini adalah kebalikan dari sistem patrilineal. Oleh karena itu, yang mendapatkan warisan adalah pihak dari keturunan ibu, namun tidak dengan pihak laki-laki. Sistem ini masih digunakan di Minangkabau, Timor, dan Enggano. Walaupun sistem adat ini lebih sedikit yang menjalani dibandingkan sistem patrilineal, namun tradisi ini tetap dijalankan secara turun temurun.

Sistem parental atau bilateral

Sistem ini menganut jalan tengah dalam pembagiannya. Jadi tidak ada salah satu pihak yang “dikalahkan” dalam sistem ini. Baik laki-laki atau perempuan akan mendapat bagiannya, karena kedudukan antara laki-laki dan perempuan dianggap setara. Beberapa suku yang menggunakan sistem ini adalah daerah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan lain sebagainya.

Sistem Pembagian Waris Dengan Sistem Hukum Perdata

Prinsip pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu:

  • Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. Pasal 830 KUHPerdata menyatakan; Jika pemilik harta masih hidup, maka harta yang dimilikinya tidak dapat dialihkan kepada ahli waris melalui pengesahan prosedur.
  • Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Ada empat golongan besar yang termasuk dalam kategori tersebut, yaitu:

  1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Mereka yang ditunjuk sesuai dengan Undang-Undang, antara lain suami/istri, anak, kakek/nenek (sebagaimana termasuk dalam Golongan I hingga Golongan IV. Hak yang didapatkan disebut dengan ab intestato (ahli waris mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan si pewaris). Cara selanjutnya adalah secara testamentair atau surat wasiat (ahli waris ditentukan oleh si pewaris dalam surat wasiat). Surat wasiat tersebut juga perlu disahkan oleh notaris.

Begitu juga dengan status anak yang masih di dalam kandungan. Walaupun belum dilahirkan, status anak yang masih dalam kandungan dapat langsung disahkan langsung sebagai ahli waris. Hak ini sesuai dengan Pasal 2 KUH Perdata.

Pembagian Warisan Dengan Hukum Waris Islam

Hukum pembagian warisan dalam agama Islam yaitu berdasarkan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan 12.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

(Q.S An-Nisa, ayat 11);

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), makai bunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, makai bunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar utangnya). (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

(Q.S An-Nisa, ayat 12);

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetap mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka dari masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikian ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”

Ketentuan kedua ayat tersebut dilengkapi dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Pembagian harta warisan bukanlah perkara yang mudah. Hal ini dapat memicu konflik internal dalam keluarga. Hal ini hendaknya disegerakan. Dalam hal ini sebaiknya disepakati untuk menunjuk orang atau menggunakan jasa notaris untuk melakukan pembagian warisan agar terselesaikan dengan baik dan benar, agar warisan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.

Baca Juga: Ketentuan Pembagian Harta Warisan Menurut 3 Aturan Hukum Yang Berlaku di Indonesia