Bolehkah Seorang Istri Menggugat Cerai Suami? Boleh…

Pengacara perceraian -Pertanyaan mengenai apakah seorang istri bisa menggugat cerai suami masih sering muncul. Hal ini dipicu oleh pemahaman bahwa dalam rumah tangga seorang suami kedudukannya adalah sebagai kepala keluarga. Posisi suami yang terlihat lebih dominan ini menyebabkan banyak orang berpikir bahwa gugat cerai semestinya hanya bisa dilakukan oleh suami. Artinya, ketika rumah tangga atau perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan, seorang istri dapat meminta cerai melalui suaminya.

Istri Menggugat Cerai Suami

Padahal tidak demikian. Di mata hukum, baik hukum Agama maupun hukum negara istri boleh menggugat cerai suaminya. Kedua pihak sama-sama memiliki hak yang sama sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka dari itu, gugatan cerai baik oleh istri maupun suami sama sah dan diizinkan oleh hukum.

Dalam Hukum Islam

Menggugat cerai pasangan, apalagi jika istri yang menggugat, harus memperhatikan rambu-rambu yang ada. Terdapat dua istilah dalam menggugat cerai suami atau istri yaitu fasakh dan khulu.

Fasakh memiliki makna sebagai lepasnya ikatan perkawinan atau pernikahan dari suatu pasang suami istri dimana istri tidak perlu mengembalikan mahar. Pengertian lain dari Fasakh yakni pemutusan ikatan pernikahan dengan istri mengajukan gugatan atau pengaduan ke Mahkamah dan Hakim.

Sebab-sebab terjadinya Fasakh:

  1. Syarat akad nikah tidak terpenuhi. Contoh setelah menikah baru diketahui ternyata suami atau istri masih bersaudara.
  2. Masalah yang timbul setelah menikah yang sifatnya merusak pernikahan itu sendiri. Permasalahan ini mencakup:
  • Salah satu dari pasangan murtad yang akan mengakibatkan kerusakan dalam hidup berumah tangga
  • Suami menghilang dalam jangka waktu yang relatif lama
  • Suami mengalami kemiskinan sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah
  • Organ kelamin wanita bermasalah sehingga menghalangi pembuahan/bersetubuh
  • Suami mengalami impoten sehingga tidak mampu mencapai maksud dari pernikahan itu sendiri.

Khulu memiliki makna sebagai lepasnya ikatan pernikahan yang diajukan oleh istri kepada suami dimana istri akan mengembalikan sejumlah harta atau mahar milik suami jika perceraian itu terjadi. Khulu lebih familiar dengan istilah gugatan cerai. Dalam khulu, aspek ganti rugi oleh pihak istri kepada suami cukup ditekankan. Jadi seorang istri yang menggugat cerai suaminya melalui khulu bersedia membayar ganti rugi atau bersedia kehilangan hak-haknya sebagai istri.

Alasan terjadinya khulu:

  • Pasangan menjadi penjudi, pemabuk, pemadat dan beberapa kebiasan buruk yang merugikan dan sulit dihilangkan
  • Salah satu meninggalkan pasangannya selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa alasan dan pemberitahuan yang jelas
  • Salah satu dari pasangan menjalani hukuman penjara minimal 5 tahun atau lebih usai menikah
  • Salah satu melakukan tindakan kekerasan dan penganiyaan terhadap pasangannya yang dapat membahayakan hidup pasangan tersebut
  • Sala satu mengalami penyakit yang menyebabkan tidak terjadinya hubungan suami-istri
  • Percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dan didamaikan lagi
  • Suami melanggar dan tidak menghormati taklik talak
  • Salah satu pihak murtad atau beralih keyakinan.

Seorang istri yang menemui sebab-sebab di atas dalam pernikahan bisa mengajukan perceraian kepada suami. Dalam hukum Islam, seorang istri yang menggugat cerai harus memiliki alasan yang benar-benar jelas dan dengan pikiran yang jernih.

Dalam Undang-Undang Perkawinan

Gugat cerai yang dilakukan oleh istri kepada suami juga sah dan diizinkan berdasarkan UUP. Dalam pasal 39 ayat (2) disebutkan untuk dapat melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang bisa menjadi penyebab salah satu pihak penggugat pihak yang lain bisa melihat pada alasan terjadinya khulu.

Baca Juga:
Tugas Berat Menjaga Perkawinan: Mengapa Harus Ada Perceraian?