Jika Pasangan Melakukan Kekerasan Seksual Dalam Keluarga

Pengambilan Putusan Cerai – Kekerasan seksual dalam artikel ini akan dipersempit sebagai tindakan paksa oleh salah satu pihak dalam hubungan suami istri.

Perkawinan bisa dikatakan sebagai bentuk legal antara pria dan wanita untuk melakukan hubungan seksual. Di dalam perkawinan pula, seksualitas merupakan wujud dari kasih sayang antara suami dan istri. Hasil dari hubungan ini adalah anak-anak yang akan dilahirkan ke dalam perkawinan.

Seksualitas di dalam perkawinan sama halnya komunikasi kedua belah pihak, merupakan hubungan yang melibatkan kesepakatan kedua pihak. Tidak ada hukum yang mengatur bahwa jika pria dan wanita telah menikah maka hubungan seksual wajib terpenuhi. Wajib dalam arti, jika salah satu pihak menolak maka pihak lain tetap memaksa karena dia berhak sementara pihak lain wajib memberikan hak yang dimaksud.

Pemaksaan dalam hubungan seksual sering menimpa kaum wanita ataau istri yang mana dalam kondisi tertentu seorang pria atau suami memaksakan kehendaknya sementara sang istri sedang tidak berada dalam kondisi memungkinkan untuk melakukan hubungan seks. Selain itu, pemaksaan seks juga meliputi upaya tidak lazim dalam berhubungan seksual yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain.

Marital Rape

Marital rape merupakan istilah umum untuk kekerasan seksual yang kemudian disederhanakan sebagai pemerkosaan dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk dari marital rape adalah:

  1. Pemaksaan dalam seks. Hubungan seksual dalam perkawinan harus atas dasar kesepakatan sekalipun kedua pihak sudah hidup bersama secara agama dan hukum. Pernikahan melegalkan hubungan seksual di antara pasangan, bukan melegalkan upaya-upaya kekerasan dalam mendapatkan seksualitas.
  2. Hubungan seks dengan perasaan terancam. Apabila seseorang dalam rumah tangga mengancam istri atau suaminya untuk mendapatkan seks maka hal tersebut termasuk dalam marital rape. Sebagai bentuk dari kasih sayang, seks harus diliputi perasaan suka cita kedua pasangan. Tindakan mengancam pasangan untuk menuruti kehendak dalam melakukan hubungan seksual akan menimbulkan trauma dan luka.
  3. Memanipulasi kehendak dalam mendapatkan seks. Tindakan manipulasi mirip dengan mengancam namun tanpa kekerasan. Memanipulasi pasangan dengan ungkapan bahwa pasangan tidak patuh, tidak setia dan sebagainya dalam upaya untuk mendapatkan seks termasuk marital rape karena korban akan melakukan seks karena merasa tidak memiliki pilihan lain. Esensi seks dalam perkawinan akan kehilangan bentuknya.
  4. Seks saat pasangan tidak sadar. Melakukan seks saat pasangan sedang tidak sadarkan diri adalah tindakan marital rape. Perbuatan membuat mabuk pasangan, mencekoki minuman keras dan obat perangsang adalah bagian dari poin ini.
  5. Seks karena merasa tidak ada pilihan dalam suatu situasi. Jika seks adalah kesepakatan bersama dalam perkawinan, maka melakukan hubungan seks dalam kondisi yang mana salah satu pasangan merasa tidak memiliki pilihan lain adalah marital rape. Misalkan apabila suami mengancam untuk bercerai jika istri tidak melakukan hubungan seks menyebabkan istri menuruti keinginan suami karena dia tidak memiliki pilihan lain.

Marital rape menyebabkan hubungan seksual menjadi tidak sehat dan kehilangan esensinya dalam sebuah perkawinan. Secara hukum, marital rape bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 angka 1 menegaskan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 5 UU PKDRT menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

  1. kekerasan fisik;
  2. kekerasan psikis;
  3. kekerasan seksual; atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Sanksi hukum bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga dilihat pada Pasal 8 huruf a UU PKDRT yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000.

Baca Juga: Apakah Orang Tua Berhak Menentukan Jenis Pendidikan Anak?