Legalitas Pengangkatan Anak dan Masalah Penelantaran Anak

Pengacara Perceraian Jakarta – Adopsi merupakan istilah lain dari pengangkatan anak. Seorang anak yang tidak memiliki orang tua dan atau karena diterlantarkan berhak mendapat perlindungan hukum. Orang tua atau dewasa yang ingin menjadikan mereka keluarga atau mengadopsi sebagai anak wajib mentaati ketentuan hukum dan pasal perlindungan anak.

Sekalipun sang anak, misalnya, tidak memiliki orang tua dan atau akibat penelantaran, tidak serta merta bebas menjadi milik siapa saja. Permohonan untuk menjadi orang tua angkat, antara lain, harus memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak. Cara seperti itu menunjukkan itikad baik calon orang tua angkat (CATO). Selain itu, melindungi dari ancaman penelantaran anak.

Legalitas Penangkatan Anak

Legalitas pengangkatan anak diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007  (PP 54/2007).

(1) Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

(2) Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Isi ketentuan pasal 1 angka 1 dan 2 di atas dipahami  dalam kaitan kewenangan pengalihan atau pengangkatan anak serta kewajiban pemenuhan atas hak-haknya. Bunyi pasal dimaksud bersifat mengikat. Karena itu, orang-perorangan dan lembaga-lembaga yang ingin mengangkat atau mengadopsi anak  harus mentaati dalam poin 3, 4, 5, 6, dan 7 dari ketentuan pasal yang sama.

(3) Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

(4) Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.

(5) Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak.

(6) Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.

(7) Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak.

Tata cara pengadopsian anak diatur dalam perundang-undangan, yang secara ringkas dijelaskan sebagai berikut:

  1. Adanya anak yang terlantar dan adanya calon orang yang mengidamkan si anak.
  2. Tahap legalilisasi di pengadilan.
  3. Tahapan pencatatan di catatan sipil.
  4. Kewajiban orang tua untuk tetap melaporkan pengangkatan anak kepada instansi pemerintah yang menangani penanganan anak (Dinas Sosial).

Masalah Penangkatan Anak

Substansi dari ketentuan-ketentuan pasal di atas, merujuk pengangkatan anak merupakan peralihan dari lingkungan kekuasan keluarga orang tua atau wali yang sah  kepada pihak lain yang secara sah sudah dinyatakan oleh hukum. Dengan demikian, selanjutnya tanggung jawab, perawatan, pendidikan, dan membesarkan merupakan hak dan kewajiban oleh orang tua asuh atau orang angkat.

Namun, pengangkatan anak bisa jadi selalu dalam posisi tidak normal. Ketidaknormalan ini bersinggungan langsung dengan ketidakmampuan orang tua mengasuh, mendidik, merawat, dan bertanggung jawab. Orang tua yang tidak mampu berarti orang tua yang sedang menyembunyikan aib atau karena malu dari pergaulan sosial.

Kesalahan-kesalahan mereka ini yang mengakibatkan, pertama, penelantaran yang sebenarnya masih memerlukan perawatan. Kedua, pengubahan asal usul anak dalam kaitan akta kelahiran. Ketiga, memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan masyarakat dan lembaga negara.

Risiko hukum yang mengikuti tindakan-tindakan tersebut, disebutkan dalam pada pasal 76A dan 77 ayat 2 Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang  Perlindungan Anak.

Pasal 76A:

Setiap orang dilarang: a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.”

Pasal 77 Ayat 2:

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Risiko-risiko berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal di atas, bersifat mengikat. Artinya, argumentasi-argumentasi rasional hanya mungkin bisa dilakukan sejauh tidak ada pelanggaran HAM dan  mempertahankan tanggung jawab sebagai orang dan wajib memenuhi hak-hak si anak.

Baca Juga: Hak Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam