Masalah Perceraian Kristen dan Opsi Advokasi

Pengurusan Somasi perkawinan – Meskipun Kristen sebagaimana Katolik memandang perceraian bukanlah hal bijak dalam menyelesaikan persoalan pasangan yang menikah, tetapi pasangan yang beragam Kristen masih bisa bercerai dan menikah kembali secara agama. Artinya, setelah bercerai gereja masih bisa menikahkan kembali orang tersebut dengan pasangannya yang baru.

Kendala bagi pasangan beragama Kristen yang hendak bercerai lebih pada finansial yang dibutuhkan untuk mengurus proses perceraian. Penuntasan masalah perceraian Kristen tergantung kasus dan ranah hukum yang dipakai. Beberapa kasus perceraian anggota Gereja Kristen, seringkali terkendala pembiayaan advokat. Itu tidak termasuk dengan masalah extraordinary, yang memaksakan kedua belah pihak tersengketa mengeluarkan lebih banyak uang tambahan.

Dalam kasus tertentu, pembiayaan yang tinggi tidak sebanding dengan penuntasan kasus perceraian. Ada kasus perceraian yang mandek hanya sampai pengajuan. Ada juga yang tidak tertangani berbulan-bulan. Untuk kasus yang berbulan-bulan, orang terpaksa mengeluarkan banyak uang. Sebab, mereka membutuhkan kepastian hukum dan menungggu putusan perceraian hanya akan menambah beban pembagian harta gono-gini.

Masalah Perceraian Kristen

Berbeda dengan pada perkawinan Katolik yang menolak adanya perceraian dalam suatu perkawinan, pasangan yang beragama Kristen tidak merujuk pada kitab atau hukum tertentu dalam agama Kristen yang melarang terjadinya perceraian.  Untuk merujuk perceraian, pasangan agama kristen bisa melihat Undang-Undang yang mengatur perkawinan tertuang dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, bunyinya:

  • Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, sebagaimana kasus perceraian pasangan beragama Islam, penanganan perceraian Kristen hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan, seperti diatur dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi sebagai berikut:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  • Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
  • Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Dengan begitu, perceraian pasangan beragama Kristen dinyatakan resmi apabila mengikuti isi dari ketentuan-ketentuan pasal di atas tersebut. Jika mengalami hambatan, maka proses perceraian dilanjutkan kembali setelah memperoleh putusan atau rekomendasi dari Lembata Pencatat Perkawinan, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Opsi Advokasi

Sebagaimana dijelaskan di atas, penanganan perceraian Kristen kasus tergantung kasus dan ranah hukum yang dipakai. Selain itu, besar kecilnya pembiayan tergantung kasus. Apalagi pembengkakkan pembiayaan tidak hanya karena melibatkan pengacara atau advokat, tetapi juga Lembaga Pencatat Perkawinan, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Namun, tidak ada standar baku dalam penanganan dan pembiayaan perceraian. Pihak penggugat, misalnya, bisa memanjar harga sebesar Rp. 615.000. Pemanjaran ini dengan maksud berkas gugatan perceraian sudah masuk ke ranah pengadilan dan siap untuk disidangkan oleh jaksa.

Sementara, untuk penanganan kasus perceraian bisa diberikan dua opsi atau pilihan. Pertama, tanpa pengacara. Hal ini diandaikan kasus perceraian pihak penggugat dan tergugat diminimalisasi dengan pola mediasi. Memakai pola mediasi berarti kasus perceraian tidak sampai pada ranah pengadilan.

Kedua, dengan pengacara. Untuk kasus yang sudah masuk ke ranah pengadilan, mau tidak mau harus menggunakan pengacara. Pengacara memperlancar gugatan dan membantu pihak penggugat yang barangkali awam soal hukum. Konsekuensinya, pembiayaannya mahal.

Baca Juga: Gereja Katolik Melarang Perceraian