Menjodohkan Anak Apakah Melanggar Hukum?

Pengurusan Somasi perkawinan – Pernikahan adalah suatu hubungan sakral yang dibangun atas rasa cinta antara dua insan. Pada masa sekarang, perempuan dapat menolak perjodohan dengan alasan perubahan zaman, tidak seperti zaman dahulu. Cerita Siti Nurbaya yang popular di kalangan masyarakat identik dengan predikat tradisi yang kuno. Apalagi di zaman modern ini, perempuan kedudukannya sudah dianggap setara dengan kaum laki-laki.

Bolehkah orang tua menjodohkan anaknya?

Hal ini tentu berkaitan dengan perasaan dan keinginan anak. Dalam agama Islam pembahasan tentang perjodohan anak mendapat perhatian dari para ulama. Ada beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama mengenai hal tersebut.

Dalam kitab ad-Duur al-Mukhtar disebutkan perwalian adalah pemberlakuan pendapat atas orang lain. Para ulama menyebut hak perwalian yang otomatis berlaku baik suka maupun tidak suka dengan sebutan hak perwalian ijbar (pemaksaan).

Berbeda dengan pembahasan yang disebutkan dalam kitab ad-Duur al-Mukhtar, dalam hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah disebutkan, “Jika seorang anak gadis telah dinikahkan tanpa kerelaannya, ada ulama yang membolehkan sang anak untuk memilih meneruskan pernikahannya atau berpisah. Dalilnya sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA, beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya, sementara dia tidak suka. Kemudian, Rasulullah SAW memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah).”

Perjodohan yang dilakukan oleh orang tua diperbolehkan hanya jika anak setuju dengan pilihan orang tuanya. Jelas disebutkan dalam hadits di atas bahwa wanita yang hendak dinikahkan sementara ia tidak suka dengan calon pasangannya berhak memilih melanjutkan pernikahan atau berpisah. Sebagai orang tua hendaknya memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan pilihannya.

Karena dalam kehidupan pernikahannya anaklah yang merasakan kehidupan yang ia jalani dengan pasangannya itu. Alangkah lebih baiknya sebelum melakukan perjodohan, diskusikan hal tersebut dengan anak. Jika anak merasa terpaksa dengan perjodohan, ini akan menyebabkan perasaan tertekan yang pada akhirnya akan memicu konflik dalam keluarga, dan tidak dapat menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang suami atau isteri.

Dalam suatu ikatan yang sakral seperti pernikahan sudah sepatutnya hal tersebut didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, dalam penjelasannya dikatakan bahwa, perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia.

Jika suatu pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yang berpotensi melanggar hukum, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan, suami atau isteri dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan perkawinan.

Bagi yang beragama Islam, pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dapat diajukan pemohon dari suami atau isteri, berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Tindak pidana bagi pelaku perbuatan mengancam tersebut dapat dijerat dengan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 335 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 yang berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Catatan lain yang perlu Anda ketahui adalah ancaman pidana berupa denda pada Pasal 355 ayat (1) KUHP tersebut harus disesuaikan dengan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP atau PERMA 2/2012 yang berbunyi:

Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

Baca Juga: Peran Orang Tua Terhadap Anak yang Melakukan Seks di Luar Nikah