Para Suami, Berbesar Hatilah Jika Istri ‘Berhalangan’ Atau Menolak

Pengacara Perceraian Jakarta – Pernikahan membuat seksualitas seharusnya berkualitas dan bernilai. Selain itu, seksualitas antara pasangan suami-istri (berhubungan badan) menjadi salah satu alasan mengapa pasangan. Kepuasan jasmani dan batin bisa tercapai melalui hubungan ini. Seks juga menjamin lahirnya anak-anak di dalam pernikahan.

Seorang suami wajib memberikan kepuasan seksual kepada pasangannya, demikian pula sebaliknya. Namun perlu diingat bahwa seks tidak bisa dipaksakan meskipun suami-istri memiliki kewajiban yang sama. Seks terjadi karena kesepakatan bersama. Kesepakatan mengindikasi bahwa seorang suami meskipun dalam kondisi tidak memungkinkan (tidak mood) tetap melayani istrinya begitu pula sebaliknya. Dan asas kesepakatan bersama juga menunjukan bahwa sewaktu-waktu suami atau istri bisa menolak karena sebuah alasan yang bisa dipahami.

Jagalah Seksualitas, dan Jangan Memaksanya

Banyak alasan mengapa seorang suami atau istri menolak berhubungan seksual, sehingga perlu komunikasi dan pemahaman untuk melihat hal tersebut. Akan tetapi, ada yang tidak bisa menerima kenyataan ini sehingga terjadi pemaksaan yang bisa berujung pada kekerasan seksual dalam rumah tangga. Korban kekerasan seksual dalam rumah tangga, dalam hal pemaksaan hubungan seks, seringkali menimpa kaum wanita.

Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga termasuk pelanggaran hukum yang diatur dalam UU KDRT. Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa: “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Pasal 5 UU KDRT menggolongkan kekerasan dalam rumah tangga menjadi:

  1. kekerasan fisik;
  2. kekerasan psikis;
  3. kekerasan seksual; atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Kekerasn seksual yang termasuk dalam UU KDRT di atas meliputi:

  • pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
  • pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

UU KDRT juga mengartikan kekerasan seksual sebagai pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas.

Lebih lanjut, dalam rumah tangga atau perkawinan pemaksaan seksual bisa dipersempit sebagai tindakan penetrasi yang tidak diinginkan yang disertai kekerasan, ancaman dan ketika istri sedang berhalangan. Perilaku seperti ini mengarah pada perkosaan dalam perkawinan atau marital rape. Karena setiap unsur kekerasn seksual berupa pemaksaan dan kekerasan saat persetubuhan yang bisa melukai korban baik jasmani maupun psikis maka meskipun sudah dalam lingkup perkawinan tetap bisa dianggap sebagai perkosaan. Perbuatan ini bisa dipidana penjara paling lama 12 tahun atau dengan denda paling banyak 36 juta rupiah.

Pemahaman tentang Seksualitas dalam Perkawinan

Sebagai pasangan yang telah menikah, pemahaman mengenai seksualitas harus diperdalam. Tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa hanya karena telah menikah maka suami atau istri bebas memperlakukan pasangan secara seksual.

Seorang suami yang paham akan kewajibannya harus mengetahui bahwa dalam hal seks pun istri harus dipenuhi kebutuhannya. Demikian pula seorang istri harus memahami tugasnya dalam merawat dan memuaskan suaminya. Pemahaman mengenai seks yang baik akan membentuk suatu kesadaran bersama bahwa karena seks itu penting maka komunikasi dan kesepakatan bersama mesti tercapai.

Kekerasan seksual tidak hanya merugikan secara materiil berupa pidana melainkan lebih dari itu meninggalkan trauma pada korban dalam rumah tangga. Ketika hal ini terjadi, maka kualitas seksual di dalam perkawinan akan hilang kadarnya.

Baca Juga: Wawasan Umum Mengenai Pelecehan Seksual