Pembatasan-Pembatasan Menurut KUHPerdata Yang Perlu Diperhatikan Dalam Membuat Surat Wasiat

Pengurusan Akta Cerai – Dalam membuat wasiat tentunya perlu diperhatikan sejumlah hal, agar kelak surat wasiat itu dapat bekerja dengan semestinya (setelah pewaris meninggal dunia). Serta perhitungan hak waris untuk ahli waris dapat dibagikan tanpa adanya sengketa di kemudian hari.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan pembatasan-pembatasan dalam hal membuat wasiat, sebagai berikut:

  1. Tidak boleh pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan (fidei-commis);
  2. Tidak boleh memberikan wasiat kepada suami/istri yang menikah tanpa izin;
  3. Tidak boleh memberikan wasiat kepada istri kedua melebihi bagian yang terbesar yang boleh diterima istri kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata;
  4.  Tidak boleh membuat suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris (testateur) dalam harta persatuan;
  5. Tidak boleh menghibahwasiatkan untuk keuntungan walinya; para guru dan imam; dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat pewaris selama ia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal; para notaris dan saksi-saksi dalam pembuatan wasiat;
  6. Tidak boleh memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi bagiannya dalam Pasal 863 KUHPerdata;
  7. Tidak boleh memberikan wasiat kepada teman berzina pewaris;
  8. Larangan pemberian kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta isteri atau suaminya dan anak-anaknya.

Seperti yang diketahui, yang berhak menjadi ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, serta suami/istri dari pewaris yang masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata. Ada empat golongan besar yang termasuk dalam kategori tersebut, yaitu:

  1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Golongan ahli waris ini akan menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya.

Hukum mengenai wasiat disebutkan dalam Pasal 875 KUHPerdata.

“Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.”

Wasiat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah wasiat (legaat).

Pengangkatan waris (erfstelling) adalah penunjukkan yang meliputi suatu bagian tertentu yang sebanding dengan warisan, tanpa menyebutkan benda yang diwariskan. Contohnya, seperempat dari harta peninggalan pewaris.

J. Satrio dalam buku Hukum Waris (hal. 193) menjelaskan bahwa hibah wasiat (legaat) adalah pemberian melalui wasiat atas sebagian daripada harta peninggalan berupa suatu barang tertentu. Sebagaimana Pasal 957 KUHPerdata berbunyi, “Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.”

Terdapat beberapa pembatasan pemberian wasiat, mengacu pada Pasal 875 – Pasal 1004 KUHPerdata, menjelaskan pembatasan terhadap isi wasiat, sebagai berikut:

  1. Fidei-commis atau pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan. Pasal 879 KUHPerdata, dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan, dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah batal bagi yang diangkat atau si penerima hibah. J. Satrio (Ibid, hal. 210-211) menjelaskan ada tiga pihak fidei-commis, yaitu pertama, pewaris testateur/insteller), orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan tugas/kewajiban menyimpan barang tersebut dan menyampaikan kepada pihak ketiga, dinamakan pemikul beban (bezwaarde), dan orang yang akan menerima harta dari pewaris melalui pemikul beban (bezwaarde)yang disebut penunggu (verwachter). Fidei-commis diperbolehkan, jika:
    • Yang menjadi pemikul beban (bezwaarde) adalah seorang anak atau lebih;
    • Yang menjadi penunggu (verwachter) adalah sekalian anak/keturunan mereka masing-masing, baik sudah maupun yang masih akan dilahirkan;
    • Yang diberikan adalah bagian bebas (beschikbaardeel) daripada warisan.
    • (J. Satrio, ibid hal 215-261)
  2. Pasal 901 KUHPerdata, suami-isteri yang menikah tanpa izin.Seorang suami atau isteri tidak dapat memperoleh keuntungan dari wasiat-wasiat isteri atau suaminya, bila perkawinannya dilaksanakan tanpa izin yang sah, dan si pewaris telah meninggal pada waktu keabsahan perkawinan itu masih dapat dipertengkarkan di Pengadilan karena persoalan tersebut.
  3. Pasal 902 jo. Pasal 852a KUHPerdata.Pasal 902 KUHPerdata:Suami atau isteri yang mempunyai anak dari perkawinan yang terdahulu, dan melakukan perkawinan kedua atau berikutnya, tidak boleh memberikan dengan wasiat kepada suami atau isteri yang kemudian hak milik atas sejumlah barang yang lebih daripada apa yang menurut Bab 12 buku ini diberikan kepada orang yang tersebut terakhir (Pasal 852a KUHPerdata).

    Pasal 852a ayat (1) KUHPerdata:

    Dalam hal warisan dan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih dahulu, suami atau isteri yang ditinggal mati, dalam menerapkan ketentuan-ketentuan bab ini, disamakan dengan seorang anak sah dan orang yang meninggal, dengan pengertian bahwa bila perkawinan suami isteri itu adalah perkawinan kedua atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.

  4. Sebagaimana diatur dalam Pasal 903 bahwa, suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris (testateur) dalam harga persatuan.Suami atau isteri hanya boleh menghibahwasiatkan barang-barang dan harta bersama, sekedar barang-barang itu termasuk bagian mereka masing-masing dalam harta bersama itu. Akan tetapi bila suatu barang dan harta bersama itu dihibahwasiatkan, penerima hibah wasiat tidak dapat menuntut barang itu dalam wujudnya, bila barang itu tidak diserahkan oleh pewaris kepada ahli waris sebagai bagian mereka. Dalam hal itu, penerima hibah wasiat harus diberi ganti rugi, yang diambil dan bagian harta bersama yang dibagikan kepada para ahli waris si pewaris, dan bila tidak mencukupi, diambil dan barang-barang pribadi para ahli waris.
  5. Dilarang untuk menghibahkan wasiat kepada wali atau bekas walinya (walaupun anak sudah berumur 18 tahun), para guru, dokter, ahli penyembuhan, yang merawat seseorang (pewaris) selama ia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal. Serta pihak notaris yang telah membuat wasiat dengan akta umum, dan para saksi yang hadir pada waktu itu. Mereka yang disebutkan ini tidak boleh mendapatkan kenikmatan apapun dari apa yang ditetapkan dalam wasiat. (Pasal 904 – Pasal 907 KUHPerdata)
  6. Larangan memberikan wasiat kepada anak luar nikah yang yang jumlahnya melebihi hak bagiannya. (Pasal 908 KUHPerdata)
  7. Larangan memberikan wasiat kepada teman zinanya, baik laki-laki maupun perempuan yang telah terbukti. Pasal 909 KUHPerdata:Pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinanya, dan kawan berzina ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dan wasiat pelaku, asal perzinaan itu sebelum meninggalnya pewaris, terbukti dan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
  8. Larangan memberikan wasiat kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, membinasakan, dan memalsukan surat wasiat. Atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah pewaris mencabut atau mengubah wasiatnya. Tiap-tiap dari mereka yang seperti itu baik isteri atau suami dan anak-anak mereka tidak diperbolehkan menikmati suatu keuntungan apapun dari surat wasiat. (pasal 912 KUHPerdata)

Legitime Portie (Bagian Mutlak) Menurut Pasal 913 KUHPerdata

Legitime portie atau bagian warisan menurut Undang-Undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-Undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.

Sifat dari legitime terkandung dalam dua peraturan, yaitu:

  1. Legitimaris, yaitu dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-perbuatan pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak).
  2. Pewaris tidak diperbolehkan beschickken (membuat ketetapan) mengenai bagian mutlak tersebut.

Menentukan Besaran Legitime Portie

Untuk menentukan besarnya legitime portie, pertama-tama hendaknya dijumlahkan semua harta yang ada pada waktu si pemberi atau pewaris meninggal dunia;kemudian ditambahkan jumlah barang-barang yang telah dihibahkan semasa iamasih hidup, dinilai menurut keadaan pada waktu meninggalnya si penghibah akhirnya; setelah dikurangkan utang-utang dan seluruh harta peninggalan itu, dihitunglah dan seluruh harta itu berapa bagian warisan yang dapat mereka tuntut, sebanding dengan derajat para legitimaris, dan dari bagian-bagian itu dipotong apa yang telah mereka terima dan yang meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dan perhitungan kembali (Pasal 921 KUHPerdata).

Baca Juga: Ketentuan Pembagian Harta Warisan Menurut 3 Aturan Hukum Yang Berlaku di Indonesia