Perkawinan Beda Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik

Pengacara Perceraian Jakarta – Hakikat perkawinan Katolik tidak dengan mudah bisa diceraikan oleh manusia. Perkawinan Katolik bersifat “kekal” dan mengikat,  karena dimeteraikan oleh Gereja. Pemeteraian ikatan perkawinan ditandakan dengan penerimaan sakramen perkawinan.

Melalui sakramen perkawinan, Gereja Katolik mengukuhkan pasangan di hadapan Tuhan dan umat. “Mereka tidak lagi dua, melainkan satu” dan “Apa yang dipersatukan Alah tidak boleh diceraikan manusia”, mengandung makna bahwa Allah menghendaki hubungan yang sah dalam perkawinan.

Menanggapi perkawinan beda agama, pada prinsipnya Gereja tidak menolak. Dasar penerimaan perbedaan agama dalam Gereja Katolik, ialah karena hak-hak dasariah manusia yang melekat secara kodrati dalam diri setiap manusia. Pertama, masing-masing orang bebas menentukan agamanya. Kedua, Gereja memandang bahwa agama merupakan hak asasi manusia. Ketiga, cinta antarmanusia datang tidak dapat diduga.

 

Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP. Bunyi isi pasal tersebut sebagai berikut:

  1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaan itu.
  2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-udangan yang berlaku. Lebih lanjut, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undag-Undang No.1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975), yang di dalamnya secara efektif mengatur masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan, dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.

Alasan Kemanusiaan

Dalam hal perkawinan beda agama, Gereja Katolik selalu mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Dasar pertimbangan Gereja Katolik, merujuk Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

Karena alasan Hak Asasi Manusia, Gereja Katolik memberikan keringanan dilakukannya pernikahan beda Agama. Memberikan keringanan juga bukan berarti Gereja Katolik menganjurkan untuk tidak menikah dalam satu keyakinan atau iman. Sebab, Gereja Katolik tidak membenarkan kekerasan dalam rumah tangga atau masalah perkawinan terjadi setelah nikah beda agama.

Terlepas dari itu, Gereja Katolik tetap pada prinsipnya bahwa Hak Asasi Manusia adalah yang diutamakan. Bahwa, setiap pemeluk agama diijinkan memilih menikah secara beda agama tanpa ada paksaan. Namun, term ijin diandaikan masing-masing pihak sudah mesti mendapatkan“disparitas kultus” (perkawinan beda agama) dan “mixta religio” (perkawinan beda Gereja). Tanpa kedua syarat ini, Gereja Katolik tidak membiarkan perkawinan beda agama.

Bahkan jika diijinkan kedua oleh mempelai dan demi memperkuat ikatan perkawinan, Gereja Katolik selalu menawarkan agar perkawinan beda agama mengikuti ritus atau tata cara Gereja Katolik. Tujuannya adalah untuk menjamin pihak yang beragama katolik tetap menikah berdasarkan keyakinan katoliknya. Ini sebagai bukti bahwa meskipun Gereja Katolik tidak menolak apalagi mempertentangkan penikahan beda agama, pihak yang katolik tetap mendapatkan pernikahan yang sah secara gereja. Gereja Katolik justru selalu mengedepankan ajaran iman Katolik tanpa menyampingkan hak-hak dasar manusia.

Baca Juga: Pasal Hukum Perdata yang Mendukung Ahli Waris