Perkawinan Menurut Gereja Kristen

Pengurusan Akta Cerai – Pernikahan adalah rahmat dari Tuhan. Memilih menikah tanpa paksaan dan tidak menikah adalah hak setiap orang. Penikahan yang sah ditandakan ikatan yang resmi di hadapan Gereja (persekutan umat Allah) dan Tuhan.

Dalam pandangan Kristen, pernikahan mula-mula adalah inisiatif Allah. Dasarnya pada kisah penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa. Dalam kisah Kitab Kejadian, Allah mempertemukan Adam dan Hawa di taman Firdaus. Mereka dipersatukan dan dimeteraikan oleh Allah untuk saling melengkapi, menolong, bahkan beranak-cucu.

Allah memberikan Hawa, supaya kemudian seorang laki-laki (Adam) tidak merasa kesiapan dan sendiri. Allah menjadikan Hawa dari tulang rusuk Adam. Allah menghembuskan nafas kepadanya. Bahkan Allah menempatkan Hawa untuk merawat Adam dan segala isi di taman Firdaus. (Kejadian 2:18-25).

Dari peristiwa ini, tampak bahwa perkawinan Kristen adalah karunia Allah. Allah menghadirkan perempuan supaya diperlakukan setara. Kepada laki-laki diberikannya hanya satu perempuan agar dirawat, karena si perempuan berasal tulang rusuknya. (Kejadian 1:26-28)

Legalitas Hukum Perkawinan

Dasar-dasar hukum perkawinan terdapat di dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai pengertian perkawinan yang menyebutkan bahwa : “Ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu.

Adapun asas dan prinsip-prinsip dari Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

  1. Membentuk keluarga bahagia dan kekal.
  2. Perkawinan mengikuti agama dan kepercayaannya masing-masing.
  3. Monogami
  4. Pendewasaan usia perkawinan.
  5. Mempersulit perceraian.
  6. Kedudukan suami dan istri seimbang.

Bagi umat Kristen, perkawinan menjadikan pria dan wanita sebagai partner dalam berumah tangga yang mana kedudukan pria dan wanita sama-sama di mata Tuhan.

Perkawinan Kristen Adalah Monogami

Perkawinan Kristen menganut sistem monogami. Gereja Kristen merujuknya pada kisah penciptaan Adam dan Hawa. Hawa diciptakan dari satu tulak rusuk Adam, meskipun ada banyak pilihan lain. Hal itu, mau menunjukkan bahwa Allah menghendaki pernikahan bersifat monogami dan satu kali dalam Gereja Kristen. Pernikahan lebih dari satu kali atau lebih pasangan (poligami) bukanlah ide dan inisiatif, serta kehendak Allah.

Untuk mempertegas ini, maka Gereja Kristen memandang penikahan adalah perayaan kekudusan. Sebagaimana kekudusan berasal dari Allah, penikahan dalam Gereja Kristen dipandang untuk menghormati Allah. Allahlah yang menciptakan dan mempersatukan setiap pasangan, karenanya pernikahan atau perkawinan Kristiani haruslah bertujuan menyenangkan hati dan mencerminkan kehormatan serta kemulian Tuhan.

Sebab, tindakan penghormatan dan kemuliaan kepada Tuhan menunjukkan moral dan etika Kristiani. Karena itu, Gereja Kristiani melarang dilakukan tindakan perzinahan (perselingkuhan dan poligami) dan pernikahan beda agama. (bdk. Keluaran 20:14. Lihat juga Ibrani 13:4). Gereja Kristen mendasarkan itu pada sepuluh perintah Allah. Selain itu, larangan berzinah dan pernikahan beda agama mengungkapkan makna bahwa Tuhan tidak menghendaki agar umat-Nya (Kristen) jatuh ke dalam dosa. Dosa perzinahan dan pernikahan beda agama konsekuensinya terhadap diri sendiri, seperti hilangnya kepercayaan keluarga dan hubungan tidak harmonis antara suami-istri.

Baca Juga: Perkawinan Beda Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik