Siapa yang Berhak Atas Hak Asuh Anak Setelah Bercerai?

Dalam sebuah perceraian, hak asuh anak yang masih di bawah umur secara formal biasanya akan jatuh ke pihak ibu. Namun demikian, akan ada pertimbangan lain yang mana ada kasus ketika hak asuh anak justru jatuh ke pihak ayah. Peralihan hak asuk sangat mungkin sesuai kondisi yang menjadi pertimbangan.

Namun, sebelum Pengadilan membuat keputusan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap hak asuh anak, baik ibu maupun ayah memiliki kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak pasca perceraian.

Apa Itu Hak Asuh Anak?

Hak asuh anak merupakan kewajiban orang tua terhadap pengasuhan anak-anaknya sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Pada pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi:

  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tuayang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Siapa itu Anak yang dimaksud? Dalam keluarga, defenisi anak yang berkaitan dengan hak asuh anak akan merujuk pada UU No. 35 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disitu ditegaskan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Hak Asuh Anak, berkaitan pula dengan Kuasa Asuh yang mana hal tersebut didefenisikan sebagai kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Setelah Bercerai, Siapa yang Memegang Hak Asuh Anak?

Masalah yang sering timbul dalam perceraian adalah menyangkut siapa yang paling berhak mengurus anak? Anak akan ikut siapa setelah ini?

Jika merujuk UU, maka persepsi bahwa dalam perceraian ada pihak yang paling berhak atau berkuasa atas anak adalah salah. Undang-Undang tidak mutlak mengatur siapa pihak yang berkuasa itu. Sebaliknya, pada pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan menunjukan bahwa kasih sayang dari orang tua kepa da anak tidak boleh diputus atau dihalang-halangi. Penguasaan formil yang diberikan kepada satu pihak dalam perceraian hanya bertujuan untuk menyelesaikan sengketa, bukan untuk memutuskan pengasuhan pihak yang lain.

Sebagai contoh: misalkan dalam suatu perceraian pengadilan memutuskan Anak tinggal bersama Ibu, tidak berarti pihak ayah akan putus kewajiban dalam mengasuh anak. Pasal 42 UU Perkawinan telah mengatur ini dengan menyatakan:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamanaada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari poin-poin di atas, UU Perkawinan seyogyanya tidak mengatur kepada pihak mana yang secara khusus mendapatkan hak asuh kepada anak yang masih di bawah umur (di bawah 12 tahun).  Baik ibu atau bapak memiliki kewajiban dalam memelihara serta mendidik anak-anak mereka usai perceraian. Jika terdapat perselisihan menyangkut hak asuh anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusan berdasarkan UU yang berlaku.

baca juga: serba-serbi Hak Asuh Anak