Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum

Pengambilan Putusan Cerai – Anak merupakan hasil hubungan antara suami dan istri yang sah. Sudah bukan rahasia umum lagi, memiliki menjadi idaman seluruh keluarga. Ditambah kebahagiaan sebuah keluarga tepancar ketika mempunyai anak yang sehat, pintar, dan cerdas.

Ada pula budaya yang menyatakan bahwa anak adalah sumber rezeki. Istilah yang sudah terpartri dari dahulu kala, banyak anak, banyak rezeki meyakinkan kita bahwa rejeki selalu berhubungan dengan kehadiran anak. Keyakinan ini muncul, karena anak selalu dipandang sebagai anugerah Tuhan.

Dalam pandangan lain, anak-anak yang tidak dilahirkan secara sah selalu mendatangkan aib dan sial. Kehadiran yang tidak dikehendaki (di luar nikah), menyebabkan status sosial mereka dihilangkan dari masyarakat. Tidak hanya dikucilkan, tetapi dibatasi interaksi sosial mereka. Tidak heran, jika banyak anak tumbuh dengan perasaan dan takut trauma. Mereka takut bergaul dengan sesama, karena selalu disebut dengan label anak haram.

Legalitas Status Hukum “Anak Haram”

Legalitas Status Hukum “Anak Haram”

Subjudul di atas berimplikasi, pertama, pembuktian-pembuktian hukum yang menyatakan legalisasi status “anak haram”. Kedua, pembelaan hukum hak ahli waris “anak haram” dari orang tua.

Pertama, legalisasi status “anak haram” menurut hukum. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46/PUU-VIII/2010;

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Mengingat penjelasan mengenai legalitas status “anak haram”, maka bunyi hukum di atas bersifat mengikat dan tetap. Karena itu, pasal perundang-udangan anak mengikat status hak dan kewajiban orang tua, serta memberikan hukum pidana jika mengabaikan hak-hak dasar si anak.

Legalisasi status “anak haram” juga ditentukan dari status adminstrasi. Hal itu,  bisa dibutkikan dengan akta kelahiran si anak. Akta kelahiran merupakan hak sah setiap anak dan hal itu sudah diatur dalam peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran. Substansi pasal tersebut, antara lain, mengatur pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya dilakukan dengan dua cara;

  • Pertama, melampirkan berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.
  • Kedua, menggunakan surat pernyataan tanggung jawab (SPTJM) kebenaran data kelahiran. Namun, status akta kelahiran mulai diberikan kepada si anak ketika usia sudah 18 tahun. Sebelumnya, seorang ibu ataupun pihak mana saja tidak boleh menyerahkan langsung kepada si anak.

Lalu, bagaimana hak waris?

Dalam Islam dilarang setiap umatnya untuk mengakui terhadap keberadaan anak di luar perkawinan.

Demikianlah yang diyakini dalam berbagai kitab Figh.  Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa 

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.  Berkaitan dengan hal ini dalam Pasal186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.

Dengan demikian, sebagaimana bunyi hukum Figh dan menjawab pertanyaan di atas,  maka status kepemilikan warisan hanya berasal dari pihak ibu. Syarat ini berlaku, apabila, pertama, pemegang dan pemilik warisan membuat surat warisan. Kedua, si anak mengajukan permohonan ke pengadilan agama. Akan tetapi, besaran peninggalan warisan tidak boleh melebih pewaris sah. Artinya, si anak hanya mendapat sepertiga dari ibu dan pihak keluarga ibunya.

Tuntutan lain yang berlaku adalah jika seorang ayah atau bapak mengakui status “anak haram” dan ibunya, maka pemberian nafkah, biaya penghidupan, perawatan, pendidikan, pengobatan sampai anak beranjak dewasa, merupakan tanggung jawabnya.

Baca Juga: Hak Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam