Begini Syarat dan Prosedur Gugatan Harta Gono Gini

“Syarat dan Prosedur Gugatan Harta Gono Gini”

Jennifer Thejaya | 19 April 2022

Setiap kasus perceraian pasti berujung pada pembagian harta gono-gini. Ini merupakan tahapan wajar setelah perceraian, hanya saja kerap prosesnya dipenuhi begitu banyak kemelut drama, baik dari Pemohon atau Termohon.

Menurut Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan, harta yang diperoleh setelah pernikahan akan menjadi harta bersama. Sehingga ketika terjadi suatu perceraian, maka harta yang didapat sejak perkawinan akan dibagi antara kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Lebih spesifik lagi diatur untuk pasangan suami-istri yang beragama islam dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu: “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Berikut Syarat dan Prosedur Gugatan Harta Gono Gini yang pelu anda ketahui

Baca Juga: Cara Pembagian Harta Gono Gini Pasca perceraian

Apa Saja Syarat Melakukan Gugatan Harta Gono- Gini?

Agar dapat mengajukan gugatan pembagian harta bersama ke pengadilan, terdapat beberapa dokumen yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, antara lain:

  1.  KTP asli serta fotokopi milik Penggugat;
  2. Akta cerai asli serta fotokopi;
  3. Surat gugatan harta gono-gini;
  4. Kartu Keluarga asli dan fotokopi;
  5. Fotokopi bukti kepemilikan harta bersama;
  6. Surat pengantar yang dikeluarkan pemerintah desa/kelurahan;
  7. Biaya perkara.

Tahapan Apa Saja yang Dilalui Dalam Gugatan Harta Gono Gini?

Setelah setiap persyaratan dokumen dikumpulkan, berikut adalah tahap persidangan yang harus dilalui! Yuk, simak poin-poin berikut!

 1. Mediasi

Pada tahapan ini, kedua pihak diwajibkan untuk hadir dan bilamana tidak bisa, maka dapat memberikan kuasa kepada pengacaranya. Pihak pengadilan akan memberikan waktu selama 30 (tiga) puluh hari untuk pasangan terkait berdiskusi, yang dapat diperpanjang 14 (empat belas) hari lagi. Tujuan mediasi adalah untuk mendamaikan kedua belah pihak agar tidak perlu melanjutkan permasalahan ke persidangan. Akan tetapi, jika tidak tercapai kesepakatan bersama, barulah permasalahan dapat dilanjutkan ke persidangan.

2. Pembacaan Surat Gugatan Permohonan Cerai

Ketidakberhasilan dalam proses mediasi akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan permohonan cerai di muka persidangan. Proses pembacaan dapat dilakukan oleh Penggugat atau dianggap telah dibacakan. Ini adalah kesempatan bagi pihak Penggugat untuk mengubah, menarik, atau mempertahankan isi gugatannya.

3. Jawaban Termohon atau Tergugat atas Gugatan Cerai

Tergugat diizinkan memberikan jawaban terhadap surat gugatan milik Penggugat. Jawaban tersebut bisa berupa pembenaran, sanggahan, atau gugatan balik. Dalam hal Tergugat melakukan gugatan balik, tidak ada biaya panjar yang perlu dibayarkan.

4. Replik dan Duplik

Replik akan diberikan oleh pihak Penggugat, sementar duplik akan diberikan oleh Tergugat. Tahapan ini yang kerap menjadikan proses persidangan berlangsung lama.

5. Pembuktian

Kedua pihak diizinkan mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung alasan mereka. Alat-alat bukti yang dapat diajukan mengacu pada Pasal 153, 154, dan 164 HIR, antara lain adalah keterangan ahli, bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan, serta sumpah.

6. Kesimpulan

Tahapan ini mengizinkan kepada kedua pihak untuk mengajukan pendapat terakhir terkait perkara. Kesimpulan dapat dilakukan secara baik tertulis maupun lisan.

7. Musyawarah Majelis Hakim Putusan Sidang

Tahapan terakhir adalah musyawarah oleh Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusan sidang. Ketika majelis sudah menjatuhkan putusan, maka segala yang ditentukan dianggap berkekuatan hukum tetap dan wajib dilaksanakan oleh masing-masing pihak.

Baca juga: Jangka Waktu dan Biaya Jasa pengacara perceraian Jakarta

Akan tetapi, perlu kalian pahami bahwa tidak selamanya harta bersama adalah harta bersama. Pasti bingung dengan kalimat tersebut, bukan? Nah, tentu ini bisa terjadi dengan syarat tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya yang mencantumkan klausa pemisahan harta. Dalam hal terdapat perjanjian perkawinan, maka besaran pembagian harta bisa dilakukan berdasarkannya. Bagaimana dalam halnya tidak terdapat perjanjian perkawinan?

Sangat mudah untuk menggambar suatu ilustrasi dari penjelasan normatif semata. Namun, Majelis Hakim dalam memutuskan tidak selalu terpaku pada aturan. Sebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Pengadilan Tinggi Agama No. 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, di mana hakim memilih untuk tidak membagi harta bersama secara rata antara kedua pihak, akan tetapi 1/3 bagi mantan suami dan 2/3 bagi mantan istri.

Baca juga: Upaya Hukum Akibat Jika Mengalihkan Harta Gono Gini Tanpa Persetujuan

Pertimbangan ini tentunya tidak dibuat dengan asal. Majelis Hakim memutuskan sedemikian rupa karena harta bersama tersebut merupakan hasil jerih payah istri. Istri pun telah membantu melunasi utang suami yang dibawa sebelum menikah, serta menafkahi anak-anak dari istri pertama sang suami. Sedangkan suami mendapat bagian bersama dengan pertimbangan fakta dia tengah mengurusi anak.

Selain dari kontribusi masing-masing pihak, kita juga dapat melihat asal-usul harta tersebut sejak sebelum pernikah dan/atau setelahnya. Jika sebelum pernikahan, maka harta tersebut digolongkan sebagai harta bawaan dan sebaliknya jika setelah pernikahan.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa wajar saja bila pembagian harta bersama terkadang menyimpang dari ketentuan normatif yang ada. Keadaan suami-istri terkait harta bawaan, pendapatan, pemberi nafkah, dan lain sebagainya pun bisa menjadi faktor penentu. Hukum ada untuk memberikan keadilan dan teramat tercermin dari penerapan peraturan dalam pembagian harta bersama.

Sumber Hukum

Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KH


Bingung dengan pembagian harta gono-gini? Konsultasikan melalui layanan KantorPengacara.co segera!