Menyikapi Utang Pribadi: Dalam Pernikahan dan Saat Perceraian?

Pengurusan Somasi perkawinan – Suatu hubungan antara suami dan istri menjadi renggang, selain karena perzinahaan, tetapi juga adanya praktik penyimpangan, antara lain, sehubungan dengan harta duniawi atau harta gono-gini. Misalnya, salah satu di antara pasangan rumah tangga, dilaporkan oleh pihak penuntun (kreditur) karena telah wanprestasi atau ingkar janji. Perbuatan tersebut sehubungan dengan utang piutang. Pertanyaannya, menjadi tanggung jawab siapakah pelunasan utang piutang tersebut? Apakah suami, jika dilakukan istri? Ataukah istri, yang jika perbuatan wanprestasi utang-piutang dilakukan?

Utang Pribadi dan Utang Bersama

Pada prinsipnya, pertanyaan di atas terjawabkan ketika pelunasan utang-piutang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Salah satu pihak tidak mempunyai kewajiban dalam pelunasan utang pihak lain. Artinya, istri tidak berhak membayar utang pribadi suami dan sebaliknya, sang suami tidak berkewajiban melunaskan utang ini. Hal ini berlaku di luar ketentuan pelunasan bersama. Sebab, menurut ketentuan mengenai utang dalam perkawinan dibedakan menjadi dua, pertama, utang pribadi (utang prive) dan, kedua, utang persatuan (utang gemeenschap, yaitu suatu utang untuk keperluan bersama).

Ketentuan utang pribadi (utang prive) berlaku jika sistem pelunasan hanya dilakukan oleh salah satu pihak. Jika mengalami gagal pelunasan, pertama-pertama yang diharus disita oleh pihak penuntut (debitur), ialah benda prive (benda pribadi). Benda pribadi seperti, ornamen-ornamen perhiasan, ATM pribadi, buku tabungan pribadi, dan atau benda-benda bergerak pribadi, antara lain, mobil dan atau motor.

Tindakan penyitaan dimaksud, dinyatakan dalam Pasal 1 angka 16 KHUAP;

serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Karena itu, perlu dipikirkan kembali sebelum berhutang atas nama pribadi.  Atau jika utang pribadi terlamba dibayar, tindakan pelunasan dapat digantikan dengan utang persatuan. Dalam hal ini, utang pribadi yang dimintai pelunasannya dari harta pribadi bersama dan berdasarkan persetujuan pasangan. Putusan Mahkah Agung No. Reg; 2691 PK/pdt/1996 menyatakan bahwa;

tindakan terhadap harta benda bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan dari suami istri.”

Persetejuan dari suami atau istri, mengikuti sebagaimana dimaksud Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan menyebutkan 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian:

a). Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;

b). Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;

c). Suatu hal tertentu; dan

d). Suatu sebab (causa) yang halal.

Bunyi keempat syarat di atas, sesuai juga dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa “perkawinan melarang penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri.” Karena itu, pelanggaran atasnya, dikatakan sebagai sebab asusila dan abnormal bagi ketertiban uumum dan dilarang bertindak demikian. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUHPer, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik ketertiban umum.”

Pada prinsipnya, pasal di atas dipahami juga agar pengunaan harta bersama bebas penyelewangan. Hal yang perlu disadari sebagai suami istri adalah, pemutusan utang-piutang tidak boleh disiati secara pribadi. Terlepas dari siapa atau pihak mana yang bersalah, substansinya adalah menyelamatkan keluarga. Haruslah dikedepankan urusan dan kepentingan anak, suami, dan suami. Tidak boleh egois, yang bertujuan memperkaya diri. Tidak boleh serakah, hanya untuk memuaskan diri. Penggunaan harta gono-gini mestinya secara transparan.

Baca Juga: Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum