Serba-serbi Pembagian Harta Gono-gini Setelah Perceraian

Serba-serbi Pembagian Harta Gono-gini Setelah Perceraian – Konflik yang terjadi dalam rumah tangga merupakan hal wajar, tetapi kemudian menjadi tidak wajar ketika konflik demi konflik terjadi secara terus-menerus atau berkepanjangan hingga salah satu atau kedua belah pihak sepakat untuk berpisah.

Merujuk pada data Kementerian Agama, dalam lima tahun terakhir, angka perceraian atau pemutusan ikatan perkawinan berdasarkan ketentuan hukum kian meningkat di Tanah Air, yaitu sekitar 16-20% pertahun.

Baca juga: Begini Syarat dan Prosedur Gugatan Harta Gono Gini

Pasal 39 ayat 2,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,menjelaskan bahwa harus ada cukup alasan untuk mengajukan cerai. Dalam pasal ini juga dibahas secara rinci beberapa hal yang dapat menjadi alasan suami atau istri mengajukan permohonan atau gugatan cerai, yaitu apabila:

  1. Suami atau istri berzinah—yaitu melakukan hubungan seksual dengan pria atau wanita yang bukan pasangannyasecara sadar, atas kemauannya sendiri, atau tanpa paksaan—pemabuk, pemadat, penjudi, dan hal lainnya yang sulit disembuhkan.
  2. Suami atau istri pergi dari tempat tinggal atau meninggalkan pasangannya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah. Jika sebelum itu pasangan sudah kembali, maka permohonan atau gugatan cerai dengan alasan ini tidak dapat diterima. Namun, jika pasangan kembali pergi, permohonan atau gugatan cerai dapat diajukan kembali setelah 6 bulan.
  3. Suami atau istri menjalani hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih sehingga tidak dapat menjalani kewajiban dalam perkawinan.
  4. Suami atau istri melakukan kekerasan/penganiayaan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan trauma, luka fisik, hingga membahayakan jiwa.
  5. Suami atau istri mendapat cacat fisik atau penyakit yang mengakibatkannya tidak dapat menjalankan kewajiban dalam perkawinan.
  6. Suami dan istri terus-menerus berselisih/bertengkar sehingga tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sesuai dengan Pasal 116Kompilasi Hukum Islam, selain enam alasan di atas, terdapat dua tambahan alasan perceraian bagi umat muslim, yaitu suami dengan sengaja melanggar shigat talik talak sesuai dengan yang diucapkannya pada saat ijab kabul; dan suami atau istri berpindah agama yang menyebabkan rumah tangga menjadi tidak harmonis.

Baca juga: Hukum Pembagian Harta Warisan-Pengacara Waris

Agar Proses Perceraian Berjalan Lancar dan Cepat

Sudah membaca poin-poin di atas? Pada umumnya, proses perceraian membutuhkan waktu maksimal enam bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.Maka, jika proses perceraian berlangsung lebih lama, bahkan ditolak oleh hakim, Anda sudah mengetahui salah satu penyebabnya: alasan perceraian yang diajukan oleh pemohon atau penggugat kepada termohon atau tergugat tidak sesuai dengan alasan perceraian dalam peraturan perundang-undangan.

Selain memastikan alasan permohonan atau gugatan cerai sesuai dengan peraturan perundang-undangan, suami atau istri sebagai pemohon atau penggugat juga harus memperhatikan isi surat permohonan.

Siapa pun ingin proses perceraian berjalan lancar, bukan? Maka, periksa dengan teliti surat permohonan atau gugatan untuk menghindari kesalahan ketik, maksud dari permohonan yang kabur (kurang jelas), hingga data yang tidak sesuai. Jika ragu, jangan sungkan menghubungi pengacara untuk membantu Anda menyelesaikan bekal terpenting yang menentukan lancar-tidaknya proses perceraian ini.

Tips ketiga yang kerap diterapkan oleh Termohon atau Tergugat untuk mempercepat proses perceraian adalah absen dari sidang. ‘Termohon’ merupakan sebutan bagi istri yang suaminya (Pemohon)mengajukan perceraian.Sementara ‘Tergugat’ merupakan sebutan bagi suami yang istrinya (Penggugat) mengajukan perceraian.

Jika pihak Termohon atau Tergugat mengabaikan surat panggilan dari pengadilan dengan tidak menghadiri sidang cerai, maka majelis hakim berhak memutuskan perceraian dalam sidang pertama (putusan verstek) dan mengabaikan proses panjang persidangan, mulai dari tahap mediasi hingga tahap pembuktian.

Kewajiban Pembagian Harta Gono-gini Setelah Perceraian

Selain hak asuh anak, keputusan suami-istri untuk bercerai tak lepas dari pembahasan soal harta gono-gini. Harta yang semula milik bersama, kini setelah resmi bercerai, harus dibagi menjadi dua.Hal pertama yang harus dilakukan dalam proses pembagian harta gono-gini adalah memisahkan antara harta bawaan (atau harta asal) dan harta bersama (atau gono-gini).

Harta bawaan merupakan harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum memutuskan berumah tangga, seperti hadiah atau warisan dari orangtua. Sementara itu, harta bersama atau harta gono-gini diperoleh setelah pasangan resmi menikah (selama perkawinan), seperti tanah, rumah, dan kendaraan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Cara membedakan harta bawaan dan harta bersama sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan membandingkan tanggal yang tercantum pada sertifikat atau nota pembelian dengan tanggal perkawinan.

Jika harta diperoleh pada masa perkawinan, maka termasuk dalam kategori harta bersama. Namun, tak sedikit pula suami maupun istri yang sudah memiliki harta sebelum menikah, maka harta tersebut (misalnya, mobil atau tanah) tidak termasuk sebagai harta gono-gini, tetapi harta bawaan. Segala perbuatan hukum atas harta tersebut pun tak membutuhkan persetujuan pasangan.

Hal ini telah diatur dalam Pasal 35Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bunyinya: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (ayat 1).Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (ayat 2).

Setelah pemisahan harta bawaan dan harta bersama, maka pembagian harta gono-gini bisa dilakukan dengan porsi sama rata, sesuai dengan yang tertulis dalam KHI Pasal 97 (bagi umat muslim) dan KUHPerdata Pasal 28 (bagi nonmuslim). Pembagian tersebut berlaku apabila pasangan suami-istri tidak memiliki perjanjian perkawinan atau pranikah.

Berbeda jikapasangan telah sepakat membuat perjanjian perkawinan atau pranikah. Maka, dalam pernikahan tersebut tidak dikenal istilah harta bersama atau gono-gini. Pembagian harta berdasarkan hukum perdata pun menjadi tidak berlaku, karena perjanjian pranikah sudah mengatur atau memisahkan harta suami-istri, mulai dari harta bawaanhingga harta yang diperoleh masing-masing setelah berumah tangga. Saat perceraian terjadi, suami dan istri pun secara otomatis akan mendapatkan hak mereka sesuai dengan yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut.

Dua Hal Berbeda: Perceraian dan Pembagian Harta Gono-gini

Tahukah Anda, bahwa putusan perceraian tidak ada sangkut pautnya dengan pengaturan pembagian harta bersama? Jika suami-istri tidak membuat perjanjian perkawinan atau pranikah, maka setiap perbuatan hukum (menyewakan, menjual, hingga menjaminkannya) terhadap aset atas nama salah satu pihak harus sepengetahuan atau berdasarkan persetujuan mantan suami/istri hingga ada putusan atau penetapan pengadilan mengenai pembagian harta gono-gini tersebut.

Ya, pembagian harta bersama atau gono-gini ini wajib dilakukan jika salah satu pihak menuntutnya, karena hak atas setengah bagian dari harta bersama dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Dan jika putusan yang berkekuatan hukum tetap sudah dikeluarkan, maka sebagian harta tersebut sudah menjadi milik mantan suami atau mantan istri. Apabila tidak diserahkan oleh salah satu pihak, berarti pihak tersebut melawan hukum karena menguasai harta orang lain, dan untuk hal ini dapat dipidanakan.

Ada dua cara untuk mengajukan permohonan atau gugatan harta gono-gini. Umumnya, permohonan atau gugatan diajukan bersamaan dengan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama (bagi umat muslim) atau Pengadilan Negeri (bagi nonmuslim) di wilayah Termohon atau Tergugat tinggal. Ini yang cukup penting untuk diketahui, hukum apa yang berlaku dan pengadilan mana yang berwenang menangani kasus Anda.

Sebelum mengajukannya, lakukan pendataan harta bersama yang akan dibagi secara rata dan lampirkan bukti bahwa seluruh harta tersebut didapatkan dalam masa perkawinan, yaitu dengan cara menyertakan tanggal perkawinan dan tanggal jual-beli benda/harta yang dimaksud. Jika semua berkas sudah dilengkapi, ajukan permohonan atau gugatan pembagian hartagono-gini tersebut dalam berkas tuntutan. Dengan begitu, putusan pengadilan atas perceraian secara otomatis akan memuat soal pembagian harta.

Namun bila permohonan atau gugatan cerai yang diajukan sama sekali tak menyebutkan tentang pembagian harta bersama, maka mantan suami-istri harus mengajukan permohonan atau gugatan baru setelah putusan perceraian dikeluarkan oleh pengadilan. Prosedurnya sama seperti prosedur dalam sidang cerai yang melalui tahap mediasi, pembacaan permohonan atau gugatan, jawaban atas permohonan atau gugatan, jawab-jinawab, pembuktian, hingga akhirnya sampai pada tahap putusan.

Langkah di atas jelas memakan waktu lebih, juga biaya yang tak sedikit. Maka, jika putusan perceraian sudah keluar tetapi penetapan pengadilan soal kewajiban pembagian harta gono-gini setelah perceraian, mantan suami-istri juga dapat memilih opsi yang lebih sederhana, yaitu dengan membuat akta kesepakatan bersama mengenai pembagian harta gono-gini yang ditandatangani di hadapan notaris.

Perjanjian Perkawinan dan Pembagian Harta Gono-gini

PERDAMAIAN-TETAP-DIUPAYAKAN-SELAMA-PROSES-PERCERAIAN-DI-PENGADILAN

Kewajiban pembagian harta gono-gini setelah perceraian menjadi tidak berlaku di dalam rumah tangga yang memiliki perjanjian perkawinan atau pranikah. Oleh karena itu, banyak pasangan kemudian memutuskan membuat perjanjian perkawinan atau pranikah, salah satunya, untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan di kemudian hari yang berhubungan dengan harta maupun utang suami-istri jika suatu hari terjadi perceraian atau perpisahan akibat kematian.

Bukannya menginginkan hal buruk terjadi, perlindungan hukum ini perlu dipertimbangkan demi kebaikan suami-istri, tetapi disesuaikan pula dengan kebutuhan dan pandangan tiap pasangan.Jika Anda dan pasangan merasa tak membutuhkan perjanjian semacam ini, maka tak perlu membuatnya. Lain halnya jika Anda dan pasangan cukup terbuka terhadap segala kemungkinan, maka perjanjian perkawinan bisa menjadi salah satu topik penting yang wajib dibahas sebelum memutuskan menikah.

Perjanjian perkawinan sendiri tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (ayat 1).

Hal yang disepakati dalam perjanjian perkawinan atau pranikah umumnya seputar harta bawaan/warisan; utang-piutang yang dibawa suami maupun istri sebelum perkawinan; pemisahan harta yang masing-masing peroleh pada masa perkawinan sehingga suami-istri memiliki kewenangan penuh atas harta pribadi mereka; ketentuan lain yang tujuannya melindungi aset maupun kelanjutan bisnis (jika ada) kedua belah pihak. Namun tak terbatas pada hal-hal ini, perjanjian perkawinan atau pranikah juga dapat mengatur hal lain yang dianggap penting dalam rumah tangga.

Pada dasarnya, perjanjian pranikah membebaskan kedua belah pihak, yakni suami dan istri untuk mencantumkan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain, termasuk kesepakatan ketika, dalam kondisi terburuk, pasangan harus bercerai.

Tiap pasangan juga berhak menentukan isi perjanjian perkawinan asalkan sesuai dengan kesepakatan bersama, termasuk kesepakatan soal pembagian beban biaya rumah tangga dan biaya pendidikan anak, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan suami maupun istri, dan rincian soal kewajiban masing-masing dalam rumah tangga, misalnya.

Ya, perjanjian perkawinan tak hanya mengatur pemisahan harta suami-istri, tetapi juga atas pertimbangan rencana jangka panjang yang bertujuan untuk melindungi pasangan, terutama buah hati. Maka, selain pebisnis, pasangan dengan risiko pekerjaan tinggi biasanya juga membuat perjanjian perkawinan agar masa depan keluarga tetap aman jika suatu saat hal buruk, seperti kematian, menimpa pencari nafkah utama.

Kasus lain, jika suatu saat bisnis suami atau istri mengalami kebangkrutan, perjanjian pranikah yang berisi pemisahan antara kekayaan kedua belah pihak dapat menyelamatkan keuangan keluarga karena utang maupun penyelesaian kewajiban bisnis salah satu pihak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak tersebut, tanpa melibatkan pihak lain.

Begitu pula dalam perceraian, suami-istri tak perlu lagi memusingkan soal pembagian harta gono-gini dan melewati serangkaian proses pengadilan yang panjang karena segalanya sudah diatur dalam perjanjian perkawinan. Hal ini juga meminimalisasi terjadinya konflik, sehingga masing-masing pihak dapat segera melanjutkan hidup begitu putusan cerai dikeluarkan.

Baca juga: 5 Tips Mencari Pengacara Perceraian Yang Profesional dan Amanah

Rumah Tinggal, yang Perlu Diperhatikan dalam Proses Perceraian

PENYELESAIAN-KREDIT-PROPERTI-KETIKA-TERJADI-PERCERAIAN

Salah satu aset yang menjadi perhatian oleh pasangan yang akan bercerai adalah rumah tinggal. Dalam pembagian harta gono-gini, suami-istri dihadapkan pada beberapa pilihan, seperti menjual rumah bersama kemudian membagi hasil penjualannya; salah satu pihak membelinya;membagi dua bagian rumah; atau menyerahkan kepemilikan rumah kepada anak. Keputusannya bergantung pada hasil perundingan antara kedua belah pihak.

Pilihan pertama menjadi solusi banyak pasangan bercerai. Menjual rumah dan membagi hasil penjualannya dipercaya sebagai salah satu cara paling adil. Namun bukan berarti solusi yang satu ini tak memiliki kendala.

Menjual rumah bukanlah perkara sepele yang bisa dilakukan kapan saja atau dalam waktu singkat. Penjualan yang dilakukan secara terburu-buru (untuk mempercepat proses perceraian) tentu akan menjatuhkan harga pasar, yang secara otomatis membuat pasangan merugi.Belum lagi, rencana penjualan rumah bisa berdampak pada kehidupan sosial anak yang terlanjur nyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Faktor kenyamanan keluarga ini kemudian menjadi pertimbangan pasangan bercerai untuk memilih opsi selain menjual rumah tinggal, yaitu dengan merelakan salah satu pihak membeli rumah tersebut, misalnya. Namun hati-hati, hal sensitif semacam ini sangat mungkin memunculkan konflik baru, salah satunya dalam menentukan harga jual.

Maka, untuk menghindari salah satu pihak merasa dirugikan, hadirkan pihak ketiga, misalnya agen properti, untuk membantu menentukan harga terbaik. Langkah berikutnya—jika sudah menemukan harga yang cocok—rundingkan mengenai cara pembayaran, apakah langsung dilunasi atau sepakat mencicil sesuai dengan kemampuan keuangan. Jika sudah mencapai kesepakatan, buatlah perjanjian secara tertulis di bawah payunghukum untuk menghindari sengketa di kemudian hari.

Solusi pembagian rumah tinggal lainnya adalah membagi dua bagian rumah. Pembagian dua bagian rumah bisa dilakukan jika mantan suami-istri memiliki hubungan harmonis, tetapi hal ini pun rawan konflik karena keduanya tetap tinggal berdekatan padahal masing-masingsudah memiliki kehidupan berbeda.

Bagi mantan suami-istri yang tidak ingin memperpanjang permasalahan, opsi terakhir yaitu menyerahkan kepemilikan rumah kepada anak juga bisa menjadi pilihan bijak. Ketimbang berpolemik soal harta bersama, kesejahteraan anak di masa depan lebih masuk akal untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Jangan hanya berfokus pada pembagian harta gono-gini, karena sebagai orangtua, mantan suami-istri masih memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak, juga bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikannya.

 

 

Nasib Utang Suami-Istri setelah Perceraian

NAFKAH-YANG-WAJIB-DIBAYARKAN-SUAMI-SETELAH-PERCERAIAN

Perceraian mengakibatkan tiga hal, yaitu putusnya perkawinan suami-istri, beralihnya hak atas pemeliharaan anak, serta pembagian harta dan utang-piutang dalam perkawinan. Jadi, perceraian tak hanya membawa pengaruh secara psikologis terhadap keluarga yang akhirnya harus berpisah, tetapi juga berpengaruh terhadap kondisi keuangan kedua belah pihak, baik mantan suami maupunistri.

Selain soalpembagian harta gono-gini, utang juga menjadi persoalan tersendiri. Lalu, bagaimana nasib utang, termasuk kredit, apabila terjadi perceraian? Utang yang dapat dilunasi dengan harta bersama adalah utang atas persetujuan pasangan, dengan pertimbangan bahwa utang tersebut bisa mempengaruhi atau berdampak pada kondisi keuangan keluarga.

Namun jika salah satu pihak, suami maupun istri, memutuskan berutang tanpa sepengetahuan pihak lain, maka utang tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sendiri (Pasal 93 ayat 1 KHI). Utang itu secara otomatis tidak bisa dibebankan kepada pasangan ataupun dilunasi dengan harta bersama atau gono-gini.

Sementara itu, apabila masih terdapat utang setelah perceraian, seperti utang KPR dan kredit yang digunakan demi kepentingan bersama atau keluarga, maka pelunasannyamenjadi tanggung jawab mantan suami-istri atau dapat dibebankan kepada harta bersama (Pasal 93 ayat 2 KHI).

Misalnya, jika mobil masih dalam masa kredit, maka yang berkewajiban melunasinya adalah pihak yang tercantum dalam perjanjian kredit mobil tersebut, suami atau istri. Penghitungan harta bersama dilakukan sebatas nilai yang telah dibayarkan dalam kredit tersebut saat pasangan masih bersama. Suatu hari nanti, saat kredit lunas, kepemilikan mobil pun jatuh kepada pihak yang melunasi utang.

 

 

Pentingnya Pengacara Keluarga dalam Pembagian Harta Gono-gini

 

Proses perceraian cukup menyita perhatian, waktu, tenaga, dan pikiran, oleh karena itu pasangan bercerai umumnya meminta pendampingan pengacara keluarga sebagai penasihat hukum yang dapat memberikan pendapat hukum atau masukan terbaik bagi kedua belah pihak, mulai darimemastikan inventarisasi berkas-berkas perkara(administrasi)lengkap, mengingat penyusunan dokumen merupakan prosedur awal yang harus dilewati.

Pendampingan dari pengacara terpercaya tentu sangat membantu, terutama bagi Anda yang awam terhadap proses hukum kekeluargaan, dalam hal ini prosedur perceraian. Ada kaidah hukum dan administrasi pengadilan yang harus dipatuhi dan idealnya dikerjakan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman.Pengacara perceraian juga akan mendampingi klien selama persidangan untuk menghindari kesalahan pembuatan jawaban, duplik, replik, hingga pembuktian.

Selain itu, pengacara dapat sekaligus menjadi mediator antara suami-istri dalam merancang kesepakatan bersama, seperti hak asuh anak, tunjangan hidup, dan pembagian harta gono-gini.Keuntungan lain mempercayakan proses hukum Anda kepada kami adalahAnda akan dipertemukan dengan para profesional yang ahli di bidangnya, yang akan memberikan pelayanan terbaik sehingga Anda dapat merasa aman dan nyaman sampai proses hukum dapat diselesaikan dengan baik tanpa kendala.

Ingin mengajukan pertanyaan lain? Jangan sungkan untuk menghubungi kantorpengacara.co melalui telepon +62 812 9797 0522 atau email [email protected]. Kami siap membantu Anda dengan sepenuh hati.