Talak Adalah: Bentuk, Ucapan, Keabsahan, dan Prosedurnya

Talak Adalah: Definisi, Bentuk, Ucapan, Keabsahan, dan Prosedurnya

“Talak merupakan salah satu cara untuk melangsungkan perceraian.”

Putusnya suatu perkawinan dapat disebabkan oleh banyak hal, termasuk perceraian.

Namun, untuk diakui di hadapan hukum, maka wajib memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum positif Indonesia.

Kemudian, perlu diketahui bahwa dalam perceraian agama Islam, kedua belah pihak sama-sama dapat mengajukan perceraian.

Perceraian tersebut datang baik dari suami maupun istri. Apabila perceraian diajukan oleh suami, maka disebut cerai talak.

Talak disebutkan secara implisit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Sementara itu, tata cara beracara untuk cerai talak di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU Peradilan Agama).

Selain hukum positif, talak juga diatur dalam kitab suci Al-Qur’an, sumber dari hukum Islam.

Lantas, apa saja yang perlu diketahui mengenai talak?

Baca juga: Apakah Ikrar Talak Boleh Diucapkan Advokat?

Definisi Talak Adalah

Merujuk buku Hukum Perceraian (dalam Pendekatan Empiris) oleh Jamaluddin, talak memiliki arti melepaskan ikatan.

Jadi, secara istilah, talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata-kata talak, seperti misalnya, “Aku talak engkau.”

Apabila kata-kata tersebut terucap, maka putuslah ikatan perkawinan antara suami istri tersebut.

Sementara itu, berdasarkan KHI, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Baca juga: Kapan Talak Suami Tidak Sah?

Hukum Talak

Menurut Abdul Ghofar Anshori yang dihimpun dari buku berjudul Hukum Perceraian oleh Muh. Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, hukum talak dapat berubah jika terjadi situasi tertentu, seperti:

  1. Nadab atau sunnah, yaitu talak yang dilakukan dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga lebih banyak timbul mudharat.
  2. Mubah atau boleh saja dilakukan, yaitu bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian. Sementara itu, dari perceraian ini justru terlihat manfaatnya.
  3. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang harus dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak membayar kafarah sumpah agar ia tidak dapat bergaul (berhubungan badan) dengan istrinya. Tindakan dari suami itu tentu me-mudharat-kan istrinya.
  4. Haram atau dilarang dilakukan, yaitu talak yang dilakukan tanpa alasan. Sedangkan, istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu telah terjadi hubungan badan.

Baca juga: Perbedaan Gugatan Cerai dan Permohonan Cerai Talak

Bentuk Talak

Berdasarkan buku berjudul Hukum Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, KHI memiliki dua klasifikasi talak, di antaranya:

Boleh atau tidaknya suami melakukan rujuk pada istrinya (Pasal 118 s/d Pasal 120 KHI):

  1. Talak raj’i adalah talak kesatu dan kedua. Pada talak raj’i, suami berhak rujuk pada istri dalam masa iddah. 
  2. Talak ba’in, yang dibagi menjadi dua macam lagi, yakni:
    • Talak ba’in shugraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tapi boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam iddah. Maksud dari talak ba’in shughraa yaitu: 
      • Talak yang terjadi qabla al dukhul (belum melakukan hubungan badan);
      • Talak dengan tebusan atau khuluk;
      • Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
    • Talak ba’in khubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali.
      • Namun, dikecualikan apabila pernikahan itu dilakukan setelah mantan istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul (setelah terjadinya hubungan badan) dan habis masa iddah-nya.

Baca juga: Mengenal Li’an, Tuduhan Suami pada Istri yang Berzina

Kondisi istri (Pasal 121 dan Pasal 122 KHI):

  1. Talak sunny adalah talak yang diperbolehkan karena dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
  2. Talak bid’i (bid’ah) adalah talak yang dilarang karena dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci, tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Baca juga: Mengucapkan Talak di Luar Pengadilan, Sudah Sah Bercerai?

Kaitannya dengan Talak 1, Talak 2, dan Talak 3

Masyarakat Indonesia mungkin lebih “akrab” dengan sebutan talak 1, talak 2, dan talak 3.

Lantas, apa kaitannya dengan jenis talak di atas?

Merujuk pada literatur yang sama (Hukum Perkawinan di Indonesia), talak 1 dan talak 2 (talak raj’i) lebih kepada memungkinkannya seorang suami yang sudah mentalak istrinya rujuk dengan istrinya sebelum masa iddah.

Apabila sudah melewati masa iddah, maka dapat kembali lagi dengan mengadakan akad baru (menikah kembali).

Sementara itu, talak 3 (talak ba’in khubraa) adalah pernyataan talak yang bersifat final. Jadi, suami dan istri yang bercerai tidak boleh rujuk atau menikah lagi, kecuali sang istri pernah menikah oleh orang lain dan kemudian bercerai secara wajar.

Baca juga: Hak-Hak Pasca Cerai Talak yang Wajib Diterima Istri

Ucapan yang Bisa Menjatuhkan Talak

Dalam hukum Islam, talak dapat terjadi karena lafaz atau ikrar yang diucapkan oleh suami.

Mengutip dari jurnal berjudul “Konsep Talak menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu dan Jumlah Penjatuhan Talak)” oleh Jamhuri, beberapa ulama membagi talak yang dilihat dari lafaz ke dalam dua bentuk, yaitu:

Ungkapan sarih (terang-terangan)

Talak sarih merupakan talak yang diungkapkan dengan jelas, tegas, dan tidak membutuhkan adanya niat di dalamnya, seperti kata talaq (talak), firaq (cerai), dan sarah (lepas).

Dalam hal ini, talak ṣariḥ terdapat di dalam syariat dan disebutkan secara berulang-ulang dalam Al-Qur’an.

Contoh lafaz (ucapan) dari talak sarih, di antaranya:

  1. “Saya talak (talaq) kamu.”
  2. “Saya ingin cerai (firaq).”
  3. “Saya melepaskan (sarah) kamu.”
  4. Dan sebagainya.

Baca juga: Tata Cara Rujuk pasca Cerai Akibat Talak

Ungkapan kinayah (sindirian)

Talak kinayah merupakan talak kiasan yang membutuhkan penegasan niat dari pihak suami.

Dengan kata lain, talak kinayah adalah talak yang dilakukan dengan menggunakan lafaz yang implisit, akan tetapi lafaz yang digunakan mirip pengertiannya dengan ucapan talak.

Dalam konteks ini, jika suami meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak. Sedangkan jika suami tidak meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh.

Intinya, lafaz sindiran masih memerlukan kejelasan maksud dari suami. 

Contoh ucapan dari talak kinayah:

  1. “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu!”
  2. “Engkau sendirian.”
  3. “Carilah para suami (suami baru).”
  4. Dan sebagainya.

Oleh karena itu, suami yang tidak ada niat untuk menceraikan istrinya harus hati-hati dalam berucap.

Sementara itu, ucapan yang dapat diartikan menjadi talak 3 menurut madzab Hanafi, dihimpun dari artikel Pengadilan Agama Kudus, di antaranya:

  1. “Kamu tertalak tiga (anti thaliq tsalatsan),” atau “Kamu tertalak (anti thaliq).” Lafaz ini diungkapkan sembari suami memberikan isyarat dengan ketiga jari tangannya.
  2. “Kamu tertalak, kamu tertalak, kamu tertalak,” maka jatuh talak tiga. Kecuali jika suami hanya berniat menegaskan talak pertama yang telah dia nyatakan sebelumnya, maka yang jatuh hanyalah talak satu.

Baca juga: Catat! Ini Prosedur Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Kapan Talak Dianggap Sah?

Jika ingin diakui sah secara hukum, maka talak tidak hanya diucapkan begitu saja di depan istri.

Sebab, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, perceraian akan dianggap sah secara hukum apabila dilaksanakan di Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau Pengadilan Negeri (bagi yang beragama nonislam).

Dalam hal ini, maka wujud pengesahan atas cerai talak adalah salinan penetapan dari Majelis Hakim Pengadilan Agama.

Baca juga: Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di Indonesia

Berikut adalah rangkuman prosedur pengajuan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama (Pasal 66 s/d Pasal 71 UU Peradilan Agama dan Pasal 129 s/d Pasal 131 KHI):

  1. Suami harus mengajukan permohonan cerai talak pada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri.
  2. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
  3. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
  4. Setelah Pengadilan Agama berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan Agama menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
  5. Terhadap penetapan tersebut, istri dapat mengajukan banding.
  6. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
  7. Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta autentik, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
  8. Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
  9. Majelis Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan. Penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.

Ingin proses perceraian ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author & Editor: Bidari Aufa Sinarizqi