Perceraian dalam Islam: Penyebab, Bentuk, Syarat, Biaya, dan Akibat Hukumnya

Perceraian dalam Islam: Penyebab, Bentuk, Syarat, Biaya, dan Akibat Hukumnya

“Perceraian dalam Islam baru dikatakan sah secara hukum apabila Pengadilan Agama yang bersangkutan mengabulkan dan memutuskan demikian.”

Bagi sebagian besar orang, pernikahan atau perkawinan merupakan satu momen yang penting untuk dijejaki dalam perjalanan hidupnya.

Dalam dunia pernikahan, tentunya semua berharap mendapatkan pasangan yang baik, agar bisa saling menyayangi, menghormati, dan melengkapi hingga akhir hayat.

Indonesia menerapkan asas monogami dalam perkawinan. Artinya, dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Sama halnya dengan perempuan, hanya boleh mempunyai seorang suami saja.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan).

Berbicara mengenai perkawinan, ada kalanya harapan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. 

Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang pada akhirnya memutuskan perkawinannya dengan cara perceraian.

Baca juga: 5 Hal yang Masih Sering Salah Mengenai Proses Perceraian

Angka Perceraian Agama Islam di Indonesia

Merujuk catatan dari Statistik Indonesia 2023 yang dihimpun oleh databoks.katadata (01/03/2023), angka perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mengalami lonjakan sebesar 15,31 persen jika dibandingkan 2021.

Secara rinci, jumlah angka perceraian pada tahun 2021 adalah sebanyak 447.743 kasus. Sementara itu, pada tahun 2022 total perceraian mencapai 516.334 kasus.

Kemudian, Statistik Indonesia 2023 juga melaporkan bahwa perceraian tahun 2022 didominasi oleh cerai gugat, yaitu sebanyak 388.358 kasus. Sedangkan untuk cerai talak berjumlah 127.986 kasus.

Perlu diingat bahwa cerai gugat dan cerai cerai talak itu berbeda. 

Baca juga: Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak-Anak

Bentuk Perceraian dalam Islam: Talak

Merujuk Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI), talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU Peradilan Agama) juga menyebutkan mengenai cerai talak.

Berdasarkan UU Peradilan Agama, cerai talak adalah permohonan dari seorang suami (beragama Islam) yang akan menceraikan istrinya kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 

Ada berbagai jenis talak yang disebutkan dalam KHI, di antaranya: 

  1. Talak Raj’i, yaitu talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
  2. Talak Ba’in Shughraa, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
  3. Talak Ba’in Khubraa, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali dengan syarat tertentu.
  4. Talak Sunny, adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
  5. Talak Bid’i, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Baca juga: Syarat Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama

Bentuk Perceraian dalam Islam: Cerai Gugat

Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama meliputi tempat kediaman penggugat. Kecuali, apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 132 ayat (1) KHI dan Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama.

Jadi, perbedaan antara cerai talak dan cerai gugat terletak pada pihak yang mengajukan permohonan atau gugatan cerai.

Cerai talak dimohonkan oleh pihak suami, sementara cerai gugat diajukan oleh seorang istri.

Baca juga: Mengurus Perceraian Sendiri Tanpa Pengacara, Emang Bisa?

Alasan Perceraian dalam Islam

Sebenarnya, UU Perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Hukum Islam pun juga menganjurkan agar sebisa mungkin perceraian dapat dihindari oleh kedua belah pihak.

Namun, bukan berarti perceraian dilarang. Merujuk Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, yang membuat keduanya tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.

Beberapa alasan perceraian diatur dalam KHI dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan (PP No.9/1975).

Berikut merupakan alasan perceraian yang diperbolehkan, yaitu meliputi (Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP No.9/1975):

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

 Baca juga: Tidak Bisa Punya Anak Sebagai Alasan Bercerai?

Mayoritas Penyebab Perceraian di Indonesia

Sementara itu, berikut merupakan daftar faktor penyebab perceraian di Indonesia pada tahun 2022 yang diurutkan dari tertinggi sampai terendah, di antaranya (Statistika Indonesia 2023):

  1. Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus: 284.169 kasus.
  2. Masalah ekonomi: 110.939 kasus.
  3. Meninggalkan salah satu pihak selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang jelas: 39.359 kasus.
  4. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): 4.972 kasus.
  5. Pasangan menjadi pemabuk yang sulit disembuhkan: 1.781 kasus.
  6. Pasangan beralih agama atau murtad: 1.635 kasus.
  7. Pasangan dihukum penjara selama 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan: 1.447 kasus.
  8. Pasangan menjadi penjudi yang sulit disembuhkan: 1.191 kasus.
  9. Pasangan melakukan poligami: 874 kasus.
  10. Pasangan berbuat zina: 690 kasus.
  11. Pasangan berbuat madat atau mabuk karena obat-obatan, seperti narkotika: 383 kasus.
  12. Kawin paksa: 377 kasus.
  13. Pasangan cacat badan: 309 kasus.

Dapat disimpulkan bahwa penyebab yang menyumbangkan angka perceraian terbanyak di Indonesia pada tahun 2022 adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.

Kemudian, disusul dengan faktor ekonomi dengan jumlah yang fantastis pula. Lalu, di belakangnya adalah faktor meninggalkan salah satu pihak yang jumlahnya lebih melandai jika dibandingkan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus serta masalah ekonomi.

Baca juga: Alasan Cerai dalam Islam di Jakarta yang Wajib Diketahui

Syarat untuk Mengajukan Perceraian dalam Islam

Perceraian di Indonesia baru dikatakan sah jika telah diputus oleh Pengadilan Agama (bagi yang memeluk agama Islam) atau Pengadilan Negeri (bagi pemeluk agama selain Islam).

Jadi, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan).

Dengan kata lain, merujuk buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia oleh Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih (2007), perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu pihak, baik suami atau istri, mengajukan gugatan perceraian. 

Seperti yang sudah disebutkan di atas, perceraian wajib didasarkan dengan alasan-alasan yang membuat suami istri tidak dimungkinkan untuk akur kembali. Artinya, sudah tidak ada harapan untuk melangsungkan kehidupan pernikahan yang bahagia lagi.

Jadi, syarat dasar untuk melangsungkan perceraian (khususnya bagi pemeluk agama Islam) dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Diajukan permohonan atau gugatan perceraian ke Pengadilan Agama oleh salah satu pihak. Bisa dari suami (cerai talak) atau dari istri (cerai gugat).
  2. Didasari oleh satu alasan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP No.9/1975.
  3. Pengajuan perceraian dapat dilakukan di Pengadilan Agama tempat kediaman istri (jika dalam cerai gugat sebagai penggugat, sementara pada cerai talak berperan sebagai termohon). Kecuali, apabila istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama).
  4. Salah satu pihak yang mengajukan perceraian membawa dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh Pengadilan Agama, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Nikah, dan sebagainya.
  5. Menyiapkan dana untuk membayar panjar biaya berperkara di Pengadilan Agama. 

Baca juga: Jika Suami Sakit Berat Apakah Istri Boleh Minta Cerai?

Biaya Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Dalam proses perceraian, maka biaya perkara dibebankan kepada penggugat (istri) atau pemohon (suami).

Adapun biaya perkara yang dimaksud meliputi (Pasal 90 ayat (1) UU Peradilan Agama):

  1. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
  2. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;
  3. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan
  4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.

Dasar dari biaya berperkara ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Kemudian, diserahkan nominal tepatnya di Pengadilan Agama tempat kedudukan penggugat atau termohon masing-masing.

Baca juga: Apa Itu Penelantaran Terhadap Anak Pasca Cerai?

Misalnya, seorang istri mengajukan gugatan cerai pada suaminya dengan alasan perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus. Adapun tempat tinggal istri tercatat di daerah Jakarta Selatan.

Maka, istri sebagai penggugat wajib mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kemudian, juga harus membayar panjar biaya berperkara yang ditentukan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Adapun biaya rinci tersebut dimuat dalam SK Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor W9-A4/8134/Hk.05/12/2022 tentang Panjar Biaya Perkara dan Besaran Biaya Panggilan/Pemberitahuan pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2023.

Berikut adalah rincian panjar biaya berperkara cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan:

Biaya Cerai Gugat di PA Jaksel (2023)

Sumber: Lampiran I Bagian II angka 1 SK Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor W9-A4/8134/Hk.05/12/2022.

Oleh karena itu, penggugat untuk cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan wajib menyiapkan biaya sebesar Rp1.215.000,00 pada Radius I. Sementara untuk Radius II, biayanya sebesar Rp1.365.000,00.

Sementara itu, untuk panjar biaya berperkara cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan meliputi:

Biaya Cerai Talak di PA Jaksel (2023)

Sumber: Lampiran I Bagian II angka 2 SK Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor W9-A4/8134/Hk.05/12/2022.

Jadi, pemohon untuk cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan wajib mengeluarkan biaya sebesar Rp1.515.000,00 pada Radius I. Sedangkan untuk Radius II, harus menyiapkan dana sebesar Rp1.665.000,00.

Sebagai tambahan, apabila perceraian diwakilkan oleh kuasa hukum (advokat), maka wajib membayar honorarium yang telah disepakati. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Baca juga: Bolehkah Bercerai Karena Perintah Orang Tua? Begini Hukumnya

Akibat Hukum yang Timbul Pasca Perceraian dalam Islam

Setelah permohonan atau gugatan perceraian dikabulkan dan diputus oleh Pengadilan Agama, maka tentu akan timbul akibat hukum dari perceraian, di antaranya (Pasal 156 KHI):

  1. Anak yang belum mumayyiz (belum menginjak usia 12 tahun) berhak mendapatkan hadhanah (pemeliharaan anak atau pengasuhan anak) dari ibunya. Kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
    • Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
    • Ayah;
    • Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
    • Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
    • Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
  3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan. Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
  5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d) (dalam artikel ini ditulis angka 1, 2, dan 4);
  6. Pengadilan dapat pula (dengan mengingat kemampuan ayahnya) menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Baca juga: Siapa yang Berhak Atas Hak Asuh Anak Setelah Bercerai?

Hak Istri Pasca Perceraian dalam Islam

Apabila perceraian terjadi karena cerai talak, maka suami wajib memenuhi hak-hak yang melekat pada istri yang baru saja ia ceraikan.

Hak-hak istri yang diperoleh akibat cerai talak meliputi (Pasal 96, Pasal 97, Pasal 105 ayat (1), dan Pasal 149 KHI):

  1. Memberikan mut’ah (kenang-kenangan pasca cerai) yang Iayak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum pernah berhubungan badan);
  2. Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
  3. Melunasi mahar yang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;
  4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
  5. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan suami tidak memberi nafkah.
  6. Perempuan berhak atas harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama antara lain:
    • Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96 ayat (1) KHI).
    • Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya memiliki utang, maka harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama (Pasal 96 ayat (2) KHI).
    • Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI).
  7. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Sementara itu, berdasarkan laman resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, berikut hak istri jika ia yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya (cerai gugat), yang meliputi:

  1. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan tersebut, suami tidak memberi nafkah;
  2. Perempuan berhak atas harta bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan Pasal 97 KHI;
  3. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Ingin proses perceraian ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author & Editor: Bidari Aufa Sinarizqi