Hukum Waris: Pengertian, Ahli Waris, dan Pembagian

Hukum Waris: Pengertian, Ahli Waris, dan Pembagian

“Hukum waris digunakan sebagai pedoman untuk menghindari konflik yang mungkin dapat terjadi.”

Hukum waris merupakan cabang hukum yang mengatur tentang bagaimana harta benda seseorang dapat diwariskan kepada ahli warisnya setelah kematian.

Sistem hukum waris bervariasi di seluruh dunia, tergantung pada faktor-faktor budaya, agama, dan hukum nasional suatu negara.

Hukum waris di Indonesia terbagi menjadi beberapa cabang, di antaranya waris menurut hukum perdata, waris menurut hukum Islam, dan waris menurut hukum adat.

Beragamnya hukum waris juga mempengaruhi dari dasar hukumnya, antara lain:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diubah sebagian dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
  3. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
  4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (Inpres 1/1991).
  5. Hukum adat, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Pada dasarnya, hukum waris merupakan prinsip yang bertujuan untuk memastikan distribusi yang adil dan proporsional dari harta pewaris kepada para ahli waris. Selain itu, juga untuk menjaga ketertiban dan mencegah konflik.

Dewasa ini, dengan semakin kompleksnya struktur keluarga, maka berakibat muncul berbagai tantangan dalam konteks hukum waris.

Maka dari itu, diperlukan pemahaman yang lebih terkait hukum waris. Kemudian, juga untuk memutuskan bahwa hukum apa yang akan digunakan dalam hal penentuan besaran harta warisan.

Simak pembahasan lebih lengkap terkait hukum waris pada artikel berikut.

Baca juga: Mengenal Hukum Waris Perdata di Indonesia

Pengertian Hukum Waris

Hukum Perdata

Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat umumnya digunakan oleh masyarakat pemeluk agama nonislam.

Ada tiga unsur dalam hukum waris perdata, di antaranya pewaris, harta warisan, dan ahli waris.

Waris diatur dalam Buku II KUH Perdata yang memiliki 300 pasal. Mulai dari Pasal 830 hingga Pasal 1130 KUH Perdata. Pewarisan hanya akan terjadi karena kematian. 

Efendi Purangi dalam bukunya berjudul Hukum Waris menjelaskan bahwa hukum waris adalah hukum tentang peralihan harta kekayaan peninggalan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.

Baca juga: Hak Waris Warga Negara Asing, Bagaimana Pengaturannya?

Hukum Islam

Menurut Maimun Nawami dalam buku Pengantar Hukum Kewarisan Islam, dijelaskan bahwa pewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari seorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik kepemilikan berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, maupun hak-hak yang sesuai dengan shari’at.

Kemudian, KHI mengatur bahwa yang membagi penentuan harta warisan berdasarkan ahli waris sudah ditentukan besarannya dan dapat pula warisan berdasarkan wasiat.

Hukum Adat

Hukum waris dalam konteks hukum adat adalah warisan budaya dan tradisi yang telah diterapkan oleh suatu komunitas atau suku sejak zaman dahulu.

Hukum adat mengandung norma-norma yang mengatur cara-cara pewarisan harta benda dan aset keluarga serta nilai-nilai yang mendalam dalam masyarakat tersebut.

Baca juga: Apakah Suami Dapat Bagian Warisan Jika Istri Meninggal?

Ahli Waris

Hukum Perdata

Dalam hukum perdata, laki-laki dan perempuan mempunyai perhitungan yang sama.

Pasal 832 KUHPerdata menjelaskan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, kecuali untuk suami atau istri pewaris.

Hukum perdata membagi ahli waris menjadi 4 golongan, yang merupakan urutan prioritas dalam penetapan ahli waris dan tidak memperhatikan jenis kelamin serat urutan kelahiran di antaranya (Pasal 852 KUH Perdata):

  1. Golongan I: suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya. 
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris.
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.
  4. Golongan IV: saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam.

Ahli waris dapat ditentukan melalui surat wasiat yang diatur dalam Pasal 874 KUH Perdata, bahwa segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh pewaris belum mengadakan ketetapan yang sah (surat wasiat).

Surat wasiat adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUH Perdata).

Baca juga: Berapa Bagian Warisan Yang Diperoleh Istri Dari Mendiang Suami?

Hukum Islam

Hukum waris Islam diatur lebih lanjut dalam KHI.

Pada dasarnya, pembagian waris dibagi berdasarkan masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan dan dapat dibagi berdasarkan wasiat pewaris.

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c KHI).

Pasal 174 KHI menggolongkan ahli waris menjadi 2 golongan, yaitu:

  1. Menurut hubungan darah:  
    • Golongan lakilaki terdiri dari: ayah, anak lakilaki, saudara lakilaki, paman, dan kakek. 
    • Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
  2. Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari: duda atau janda.
  3. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Baca juga: Apakah Ibu Bisa Menjual Warisan Ayah Tanpa Persetujuan Anak?

Sementara itu, ahli waris melalui surat wasiat dalam hukum Islam diatur pada Pasal 194 KHI.

Pasal 194 KHI menyebutkan bahwa orang yang telah berumur sekurangkurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

Pemilikan terhadap harta benda ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris (Pasal 195 ayat (1) KHI).

Dengan ketentuan, wasiat hanya diperbolehkan sebanyakbanyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui (Pasal 195 ayat (2) KHI).

Baca juga: Mengancam Anak Dengan Tidak Memberikan Warisan

Pembagian Harta Warisan

Hukum Perdata

Menurut hukum perdata atau hukum waris barat, pembagian warisan baru dapat dilaksanakan setelah kematian.

Artinya, pembagian warisan hanya dapat dilakukan ketika pemilik harta yang bersangkutan sudah tiada (Pasal 830 KUH Perdata).

Penentuan besaran harta warisan ditentukan berdasarkan golongan ahli waris. Jika golongan I masih ada, maka diprioritaskan lebih dahulu.

Pembagian mutlak ini dalam hukum perdata dikenal dengan istilah legitime portie (Pasal 914 KUHPer), yang menjelaskan:

  1. Pewaris meninggalkan satu anak sah, maka berhak setengah dari total harta waris.
  2. Pewaris meninggalkan dua anak sah, masing-masing anak mendapatkan dua pertiga dari total harta waris.
  3. Apabila meninggalkan tiga anak, maka masing-masing anak mendapat tiga perempat.

Baca juga: Boleh Menolak Surat Wasiat Tentang Warisan?

Hukum Islam

Pembagian besaran harta warisan diatur dalam KHI atas Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersamasama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersamasama dengan anak lakilaki, maka bagian anak lakilaki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176 KHI).
  2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177 KHI).
  3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka mendapat sepertiga bagian. Kemudian, ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah (Pasal 178 KHI).
  4. Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
  5. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180 KHI).
  6. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara lakilaki dan saudara perempuan seibu masingmasing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersamasama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181 KHI).
  7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersamasama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersamasama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersamasama dengan saudara lakilaki kandung atau seayah, maka bagian saudara lakilaki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182 KHI).

Baca juga: Tentang Hak Waris Anak Tiri

Tidak Berhak atas Harta Warisan

Hukum Perdata

Dalam hukum perdata, diatur siapa saja yang tidak berhak atas harta warisan termuat dalam Pasal 838 KUHPerdata, yaitu:

  1. Orang yang telah dijatuhi hukuman membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
  2. Orang yang atas putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi.
  3. Orang yang telah menghalangi pewaris dengan kekerasan atau perbuatan lain yang bertujuan membuat atau menarik kembali wasiatnya.
  4. Orang yang telah menggelapkan, memusnahkan, memalsukan wasiat pewaris.

Baca juga: Hak Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam

Hukum Islam

Sedangkan dalam hukum Islam, pihak yang tidak berhak atas warisan diatur dalam Pasal 173 KHI, yang menyatakan bahwa:

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

  1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris.  
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.  

Ingin proses pembagian warisan ditangani secara tepat dengan bantuan advokat berpengalaman? Dapatkan layanan tersebut di KantorPengacara.co, dengan menghubungi: 08111339245.

Author: Genies Wisnu Pradana

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi